Senin, 14 Januari 2013

Mendalami Istiqomah



MENDALAMI APA ITU ISTIQOMAH
Ketika membicarakan apa itu istiqomah, akan banyak sekali interpretasi yang muncul berkaitan dengan maknanya. Satu kata ini memang memiliki makna yang sangat dalam sehingga ketika ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah. “Ya Rasulullah, ajarilah aku tentang islam yang aku tidak akan menyakan ini lagi kepadamu?”. Maka Rasul pun menjawab “Berislamlah, berbuat baiklah lalu istiqomah”. Karena amalan yang paling disukai oleh Allah bukanlah amalan yang besar semata. Tapi Allah akan menyukai amalan yang dijalankan secara kontinyu meskipun hanya merupakan amalan yang nilainya kecil.
Merupakan kebahagian tersendiri bagi orang tua apabila mempunyai putra-putri yang punya karakter segera menunaikan salat wajib begitu tiba waktunya, gelisah apabila menunda salat wajib, gemar mengikuti salat berjamaah, merasakan ibadah sebagai kebutuhan bukan beban, selalu melakukan thoharah dengan benar,menyesal bila melewatkan satu hari tanpa membaca Al quran, menunaikan minimal satu macam salat sunah setiap hari, selalu berdoa dan berdzikir sesuai dengan situasi yang melingkupi dan menunaikan puasa Ramadan setiap tahun. Semua ini adalah bentuk istiqomah dalam beribadah. Begitulah pentingnya sifat istiqomah karena itulah sifat itu seharus dimiliki oleh setiap orang.

Pengertian istiqomah
Banyak sekali orang yang menyebut kata istiqomah,dan tidak jarang pula kita mendengarkan kata itu, tapi hanya segelintir orang yang memahami apa sebenarnya makna istiqomah, Istiqomah adalah sikap teguh pendiriannya tidak mudah goyah pada keputusan yang telah ia tentukan atau pendiriaannya tidak mudah berubah walaupun dipengaruhi oleh orang lain.
Dalam sebuah hadisnya Nabi Muhammad SAW juga menyatakan bahwa apa yang harus kita lakukan dalam menjalani kehidupannya ini sederhana saja, yaitu beriman lalu istiqomah (konsisten) dengan keimanan itu. Sebagaimana hadist nabi yang berbunyi:
عَنْ ابي عَمْرَةَ سُفْيَانَ مِنْ عَبْدِ اللهِ قاَلَ:قًلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قٌلْ لِي فِي اْلاِسْلاَمِ قَوْلًا لَا اَسْاَلُكَ عَنْهُ اَحَدًا غَيْرَكَ قَالَ: قُلْ اَمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
 (رواه مسلم)
 Artinya:
Dari abi amrah bin sufyan ra, berkata: “ya rasullah ajarkan kepada aku tentang islam, sesuatu perkataan yang aku tidak menanyakan lagi kepada seseorang selain engkau, nabi bersabda: ”Katakanlah, aku beriman kepada Allah kemudian istiqomahlah!
Hadist ini menjelaskan bahwa seseorang harus mempunyai sikap teguh berpegang terhadap sesuatu yang diyakini kebenarannya, dan tidak akan mau merubahnya dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam keadaan susah ataupun senang, dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan dengan orang lain.
Sikap istiqomah akan mewarnai sikap seorang muslim, pendiriannya tidak mudah goyah, dan tidak mudah berubah. Sikap diatas menyebabkan seseorang disegani dan dihormati orang lain. Dengan cara istiqomah inilah kita akan mencapai kebahagiaan hidup baik didunia maupun akhirat.
Hadis tersebut sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS. Fushilat:30,

اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ اسْتَقمُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلئِكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِى كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ (٣٠)
Artinya:
 Sesungguhnya orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap lurus (istiqomah) dalam keimanannya, niscaya turun kepada mereka malaikat menyampaikan pesan kepada mereka bahwa janganlah kalian takut dan bersedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian!.
Ayat diatas menjelaskan pula bahwa janji Allah yang tidak mungkin dipungkiri adalah Mukmin yang Istiqomah atau konsisten dengan keimanannya tidak perlu cemas dan sedih dalam menempuh kehidupan ini, serta bergembira karena surga menantinya di akhirat kelak.
Beriman kepada Allah SWT artinya meyakini Dia sebagai Tuhan semesta alam, juga yakin akan kebenaran keberadaan para malaikat-Nya, wahyu-Nya (kitab-kitab Allah), para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir Allah SWT bagi setiap manusia. Dan pembenaran atas semua itu harus diikuti dengan tindakan nyata, sebagai suatu pengamalan dari keimanannya. Pengamalan keimanan kepada Allah harus diikuti dengan pembenaran atas semua firman-Nya, yang kini tertuang dalam Alquran, sekaligus mengamalkan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Seorang Mukmin harus membuktikan keimanannya dengan memahami dan mengamalkan semua ajaran yang terkandung dalam rukun iman dan rukun islam, minimal seorang yang mengaku dirinya sebagai mukmin harus mengerjakan shalat lima waktu. Dalam sebuah hadis disebutkan, pembeda antara seorang Mukmin dan kafir adalah shalat. Dari shalat, jika dikerjakan dengan khusyuk, maka akan tercipta kondisi diri yang benar-benar tunduk kepada Allah SWT.
Keimanan kepada para malaikat minimal dibuktikan dengan adanya kesadaran, bahwa di kiri-kanan kita selalu ada malaikat pencatat amal Rakib dan Atid. Kedua malaikat itu selalu mengawasi perilaku kita dan mencatatnya, untuk kemudian Allah SWT meminta pertanggung
jawaban kita di akhirat kelak. Dengan adanya kesadaran tersebut, maka perilaku kita akan terkendali. Hanya akan mengarah kepada hal-hal yang diwajibkan dan diperbolehkan oleh agama (syariat) islam.
Keimanan kepada kitabullah, minimal dengan melakukan pembenaran kepada Alquran, yang diikuti dengan pembacaan, penghayatan, dan pengamalan kandungan isinya. Menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup wajib hukumnya bagi setiap mukmin. Alquran merupakan hudan (petunjuk) bagi orang-orang yang bertakwa hal ini sudah dijelaskan dalam surat al-baqarah ayat 2, yang berbunyi:
ذَلِكَ الْكِتبُ لَا رَيْبَ فِيْهِ هُدَى لِّلْمُتَّقِيْنَ (٢)
Dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan ini.
Keimanan kepada para utusan Allah (Rasulullah), minimal dibuktikan dengan membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad SAW dan nabi/rasul sebelumnya, diikuti dengan menjalankan apa yang disampaikan atau didakwahkannya. Perilaku Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya, merupakan sunnah, sebagai teladan sekaligus pedoman perilaku bagi kaum Mukmin.
Keimanan kepada hari akhir adalah yakin bahwa setelah kehidupan dunia ini ada alam kehidupan yang kekal, yakni akhirat. Bahwa semua makhluk akan mati atau binasa, kemudian manusia dibangkitkan kembali untuk menjalani "kehidupan kedua". Di alam akhirat itulah manusia menjalani kehidupan sesungguhnya. Bahagia atau celakanya, ditentukan oleh amal perbuatannya selama di dunia ini. Di alam akhirat itulah pembalasan atas amal manusia dilakukan Allah. Firman-Nya dalam QS Al-Zalzalah:6-8
يَوْمَئِذٍ يَّصْدُرُ النّاَسُ اَشْتَتًا لِّيُرَوْ اَعْملَهُمْ (٦) فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرً يَّرَهُ(٧)وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهُ (٨)
 Artinya:
 Pada hari itu manusia akan pergi berpecah-pecah untuk diperlihatkan kepada mereka akan kerja-kerja mereka. Barangsiapa yang beramal kebaikan seberat timbangan atom, maka akan dilihatnya. Dan barangsiapa yang beramal kejahatan seberat timbangan atom, maka akan dilihatnya pula.
Adapun keyakinan akan adanya akhirat harus dibuktikan dengan pengumpulan bekal kita untuk kehidupan di sana. Yakni, berupa amal saleh. Beribadah kepada Allah dan berbuat baik terhadap sesama makhluk, sebagaimana diperintahkan-Nya. Hidup di dunia ini hanya sementara. Pergunakan sebaik-baiknya, jangan sampai terlena oleh kenikmatan duniawi yang melenakan, sehingga melupakan kita akan persiapan (amal saleh) untuk akhirat.
Artinya:
”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi… (QS. Al qashah:77).
”Bukanlah orang yang paling baik darimu itu yang meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang meninggalkan akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi beban atas manusia(HR. Ibnu‘ Asakir dari Anas).
Sedangkan beriman kepada takdir, yakni membenarkan adanya ketentuan Allah SWT. Yaitu, ketentuan yang menentukan nasib atau keadaan kehidupan kita. Nasib atau keadaan itu mengiringi amal yang kita kerjakan. Ibaratnya, orang rajin belajar tentu akan pandai dan lulus ujian. Orang rajin bekerja tentu akan mendapatkan kekayaan. Orang beribadah tentu mendapat pahala. Sebaliknya, jika kita lalai beribadah, banyak berbuat dosa, tentu ketentuan Allah berupa azab akan menimpa kita.
Demikian pula jika kita menjalani kehidupan ini sesuai syariat Islam, tentu kebahagiaan hidup dunia-akhirat akan mengiringi kita. Sebaliknya, jika kita mengabaikan syariat Islam, apalagi melecehkannya, maka keterpurukan akan menimpa kita karena kita menyimpang dari rel yang sudah ditetapkan. Jika kita rajin menjaga kondisi tubuh, dengan olahraga misalnya, kesehatan jasmani kita tentu akan terpelihara. Begitu seterusnya.
Uraian di atas hakikatnya adalah sikap istiqomah dalam beriman kepada Allah. Istiqomah adalah tetap, kukuh, dan kuat kepada keyakinan. Tetap teguh menjalankan konsekuensi keimanan sebagaimana terurai di atas.Dalam terminologi iman sendiri terkandung makna istiqomah. Iman adalah mengucapkan dengan lisan (ikrarun bil lisan), diiringi dengan pembenaran dalam hati (tashdiqun bil qalbi), dan dibuktikan dengan tindakan nyata oleh seluruh anggota tubuh (‘amalun bil arkan). Iman yang hanya dalam lisan saja, disebut nifak atau hipokrit.
Orang yang istiqomah dalam keimanannya, akan dapat mengalahkan setiap godaan untuk berbuat maksiat, syirik, nifak, atau mengabaikan syariat Islam. Hawa nafsu duniawi dan bujuk-rayu setan, termasuk godaan kekuasaan, akan selalu mengintai kaum Mukmin agar mereka berpaling dari ajaran Allah yang diimaninya.
Orang yang tidak istiqomah ialah mereka yang mudah goyah keimanannya. Hawa nafsu duniawi, mengejar kesenangan duniawi, menjadi pilihannya dengan mengabaikan keimanannya. Ini bukan berarti mengejar kesenangan duniawi dilarang, tetapi seyogianya orang beriman yang teguh dengan keimanannya akan mengejar kesenangan duniawi itu dengan tetap berpedoman kepada aturan Allah, berstandar halal-haram, dan ma
dharat.
Dalil-dalil tentang istiqomah
Dalam menjalankan sesuatu sebagai umat islam maka kita harus menjalankan segala sesuatu sesuai dengan syariat Allah dan sabda Rasulullah SAW oleh karena itu dalam kita harus mengetahuai dali-dalil tentang istiqomah, dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah saw banyak sekali ayat dan hadits yang berkaitan dengan masalah Istiqâmah diantaranya adalah;
Artinya:
Maka tetaplah (Istiqâmahlah) kamu pada jalan yang benar,sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”(QS.hud:112).
Ayat ini mengisyaratkan kepada kita bahwa Rasulullah dan orang-orang yang bertaubat bersamanya harus beristiqomah sebagaimana yang telah diperintahkan.
 
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap Istiqâmah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan" (QS al- ahqaaf :13-14).
Ayat dan hadits di atas menggambarkan urgensi Istiqâmah setelah beriman
dan pahala besar yang dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan dalam setiap kondisi atau situasi apapun.
Hal ini juga dikuatkan beberapa hadits nabi di bawah ini:
“Aku berkata, “Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda, “Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah, kemudian berIstiqâmahlah (jangan menyimpang).” (HR Muslim dari Sufyan bin Abdullah)
Kaidah-kaidah tentang istiqomah
Sifat istiqomah akan menjadikan seorang muslim meraih kebahagian baik ketika di dunia maupun di akhirat. Dengannya pula seorang hamba akan meraih kemenangan dalam  bergulat dengan fitnah yang banyak sekali, bahkan istiqomah mengakibatkan kesudahan yang baik dari segala urusanya.
Karena itulah manusia yang menginginkan untuk memperoleh kebahagiaan yang di inginkan maka hendaknya memperhatikan masalah keistiqomahanya dengan porsi perhatian yang besar baik dari sisi ilmu maupun pengamalannya, dan  setelah itu tetap teguh denganya sampai ajal menjemput.  Dengan menyandarkan diri  kepada Allah serta selalu meminta pertolongan darinya.
Dalam buku ini penulis akan mengajak para pembaca untuk menelisik lebih dalam tentang sepuluh kaidah-kaidah yang agung dalam masalah istiqomah. Yang mana itu semua merupakan kaidah-kaidah yang sangat penting yang diperlukan oleh setiap orang muslim agar selalu menjaganya.
Kaidah pertama, Istiqomah adalah anugerah Ilahiyyah dan hadiah Rabbaniyyah. Didalam ayat-ayat yang sangat banyak dari Kitabullah Allah sering kali menyandarkan kepada dirinya Hidayah (petunjuk) kepada jalanNya yang lurus. Bahwa setiap perkara semua ada ditangannya, yang mana Allah memberi petunjuk kepada siapa yang di kehendakiNya dan menyesatkan siapa yang di kehendakinya. Di tangan Allah lah hati-hati setiap hambanya, siapa yang di kehendaki maka dia ditetapkan berada dijalannya dan siapa yang tidak di kehendakinya maka dia di palingkan dari jalannya.
Istiqomah itu ada di tangan Allah, siapa yang menginginkannya maka mintalah kepadaNya, dan bersungguh-sunguhlah di dalam memintanya. Dan telah tsabit (tetap) di dalam Shahih Muslim dari haditsnya Aisyah semoga Allah meridhoinya, bahwasannya dia pernah di tanya: "Dengan suatu (bacaan) apakah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam itu memulai sholat malamnya? Maka Aisyah menjawab: "Jika Beliau bangun pada malam hari maka beliau memulai bacaan sholat malamnya dengan membaca:
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ.
Yang artinya: "Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil, pencipta langit dan bumi. Wahai, Tuhan yang mengetahui perkara yang ghaib dan perkara yang nampak. Engkau yang menghukumi di antara hamba-hambamu atas apa yang mereka perselisihkan. Tunjukanlah aku kepada kebenaran apa yang menjadi perselihan dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau Maha yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus". 
Dengan do'a inilah Rasulullah SAW membacanya pada setiap malam ketika Beliau memulai sholat malamnya: "Sesungguhnya Engkau Maha yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus".
Manakala inilah yang di cari yaitu meminta hidayah kepada Allah yang merupakan hal  yang paling besar dan yang paling mulia untuk selalu dicari maka Allah mewajibkan kepada para hambanya agar mereka meminta hidayah serta petunjuk kepada jalannya yang lurus, yang mana hal tersebut rutin berulang-ulang dalam sehari semalam, semua itu ada di dalam surat al-Fatihah, Allah berfirman:
اِهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسْتَقِيمَ  صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلۡمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ( الفاتحة: ٦-٧)
Artinya:
"Tunjukilah Kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat". QS al-Fatihah: ayat 6-7.
Sebagian ulama mengatakan: "Hendaknya orang-orang awam memperhatikan do'a ini, ketika dia mengatakan: "Tunjukilah Kami jalan yang lurus". Maka kamu sekarang sedang menyeru kepada Allah dengan do'a yang Allah wajibkan atasmu sebanyak tujuh kali dalam sehari semalam sebanyak bilangan raka'at dalam sholat wajib".
Oleh karena itu hendaknya seorang muslim selalu menghadirkan dalam hatinya bahwa kalimat tersebut adalah suatu do'a. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan: "Saya telah meneliti do'a apa yang paling bermanfaat, maka saya temukan bahwa do'a tersebut adalah meminta pertolongan diatas ridho Ilahi, kemudian saya melihat bahwa itu semua ada di dalam surat al-Fatihah dalam sebuah ayat yang berbunyi:
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ) ٥(
Artinya:
"Hanya Engkaulah yang Kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan". QS al-Fatihah:5.
Beliau melanjutkan:"Seorang hamba diperintahkan untuk selalu membiasakan meminta kepada Allah jalan hidayah kepada keistiqomahan".
Maka pada intinya kita selalu di tuntut mulai dari diri kita sendiri agar senantiasa terbiasa dengan berdo'a, berdo'a kepada Allah untuk mendapat hidayah agar selalu ditetapkan di dalam istiqomah.
Kaidah kedua, Istiqomah yang hakiki adalah berpegang diatas metode atau cara yang tegak dan berjalan di atas jalan yang lurus .
Kita bisa mengambil petunjuk untuk bisa memahami istiqomah yang hakiki dengan meneliti dan memahami tentang istiqomah  dari perkataan para sahabat dan  tabi'in serta orang-orang yang mengikuti cara mereka dengan baik di dalam menjelaskan makna istiqomah serta penjabarannya. Berikut nukilan dari perkataannya mereka:
Telah berkata Abu Bakar semoga Allah meridhoinya di dalam tafsir firman Allah Ta'ala:
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah.." QS al-Ahqaaf: 13.
Beliau mengatakan: "Mereka adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun". Demikian pula di riwayatkan dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhoi keduanya ketika menafsirkan  makna ayat di atas, beliau mengatakan: "Mereka beristiqomah di atas faraid (kewajiban-kewajiban) yang mereka kerjakan".
Sedangkan di riwayatkan dari Qatadah ketika beliau menafsirkan firman Allah SWT "kemudian mereka tetap istiqamah..". Beliau berkata: "Mereka istiqomah di atas ketaatan kepada Allah.
Dalam kitab Jaami'ul ulum wal hikam. Dijelaskan bahwa yang berkaitan tentang istiqomah tersebut dengan mengatakan: "Istiqomah adalah menempuh jalan yang lurus, yaitu (jalan yang lurus tersebut adalah) agama yang tegak lurus tanpa ada kebengkokan sedikitpun baik ke kiri maupun ke  kanan, yang mencakup di dalamnya semua perbuatan taat baik yang dhohir (nampak) maupun yang bathin (tersembunyi), dan meninggalkan seluruh larangan. Sehingga menjadikan wasiat ini (untuk istiqomah) merupakan wasiat yang mencakup seluruh dari cabang agama semuanya".
Makna-makna yang terkandung dari ucapan para ulama tersebut tidaklah saling jauh berbeda satu sama lainnya, namun yang ada adalah saling menafsirkan sebagian dengan sebagian yang lainnya, di karenakan istiqomah termasuk dari kumpulan kalimat yang mengandung makna agama secara keseluruhan. 
Ibnu Qoyim menegaskan: "Istiqomah adalah sebuah kalimat yang mencakup dan terambil dari semua cabang agama, yang mana agama tersebut tegak di hadapan Allah di atas kejujuran yang sejati dan mau memenuhi janji".
Kaidah ketiga, Asal dari istiqomah adalah istiqomahnya hati, di riwayatkan oleh Imam Ahmad dari haditsnya Anas bin Malik semoga Allah meridhoinya dari rasulullah bahwasannya beliau bersabda: "Tidaklah mungkin keimanannya seorang hamba (bisa istiqomah) sampai hatinya beristiqomah". HR Ahmad
Maka asal dari istiqomah adalah istiqomahnya hati, dan hati jika baik dan dapat beristiqomah maka badan pun dengan sendirinya akan mengikutinya. Dengan mengatakan bahwasannya kita tidak berpaling kepada yang lainnya. Maka hati bisa istiqomah di atas ma'rifah (mengetahui) kepada Allah, takut kepadanya, mengagungkannya, mencintainya, rasa raja' (berharap) kepadanya, berdo'a kepadanya, bertawakal kepadanya serta berpaling dari selain Allah. Maka anggota badan akan bisa beristiqomah di atas ketaatan kepadanya. Sesungguhnya hati adalah rajanya anggota badan sedangkan anggota badan adalah pasukannya, maka jika rajanya berada di atas keistiqomahan maka pasukan serta yang di pimpinnya akan menjadi beristiqomah".
Dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) di riwayatkan bahwa rasullah saw bersabda, "Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh anggota badan, dan jika ia rusak maka rusak pula semua anggota  badannya, ketahuillah bahwa segumpal daging tersebut adalah hati". HR Bukhari Muslim.
Hati bagi anggota badan seperti rajanya yang berhak untuk mengatur  pasukan yang berada di bawah komandonya, menggunakan sesukanya, dan semuanya berada di bawah kekuasaannya, keistiqomah atau ketergelinciran berada di bawahnya, maka semua akan mengikuti apa yang menjadi keyakinannya dari keharaman sesuatu perkara maupun kehalalannya. Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh anggota badan, dan jika ia rusak maka rusak pula semua anggota  badannya, ketahuillah bahwa segumpal daging tersebut adalah hati". Hati adalah raja, hati pula yang memutuskan dalam perkara yang ingin di perintahkan kepada anggota badan, yang berhadapan dengan apa yang di dapat dari hidayahnya, yang mana tidak akan tegak dan bisa istiqomah sedikitpun dari amalan-amalan yang muncul darinya kecuali yang sudah berada di dalam niatnya, dan hati itu adalah penanggung jawab atas itu semua".
Oleh karena itu Allah berfirman:
يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٞ وَلَا بَنُونَ.  إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ )٨٩-٨٨(
Yang artinya: "(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih".  QS asy-Syua'araa: ayat 88-89.
Kaidah keempat, Istiqomah yang di tuntut dari seorang hamba adalah berusaha untuk selalu berada pada sebuah keistiqomahan jika tidak mampu maka dituntut untuk lebih mendekatinya
Seorang hamba di tuntut agar berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk sesuai dengan sunah, sesuai dengan petunjuk rasulullah saw, metode dan perjalanan hidupnya. dan selalu berusaha untuk bisa mencapai hal tersebut. Jika tidak memungkinkan bagi dirinya untuk bertepatan dengan sunah secara sempurna maka setidaknya bisa mendekatinya dan Allah Ta'ala telah berfirman:
فَٱسۡتَقِيمُوٓاْ إِلَيۡهِ وَٱسۡتَغۡفِرُوهُۗ  )فصلت: ٦(
Artinya:"Maka tetaplah pada jalan yang Lurus menuju kepadanya dan mohonlah ampun kepadaNya". QS Fushilat: 6.
Allah menyebutkan dalam ayat di atas agar meminta ampun kepadanya yang sebelumnya di dahului perintah untuk beristiqomah, ini mengisyaratkan bahwa seorang hamba bagaimanapun usahanya serta kesungguhan untuk selalu bisa tetap di atas istiqomah tentu masih saja ada kekurangannya.
Oleh karena karena itu ayat ini mengisyaratkan kepada bahwasannya ada saja kekurangan yang di dapati dalam masalah istiqomah yang Allah perintahkan dalam ayat tersebut yang mana itu semua dapat tertutupi dengan istighfar (minta ampun) yang mencakup taubat kepada Allah, dan ini seperti yang disabdakan oleh rasulullah beliau bersadba: "Bertakwalah kepada Allah di manapun kamu berada, dan ikutlah perbuatan buruk dengan kebaikan niscaya ia akan menghapusnya".
Dalam hadits yang lain  rasulullah menjelaskan bahwa manusia tidak akan mungkin sanggup untuk bisa beristiqomah, sebenar-benar istiqomah adalah sebagaimana dalam hadits, "Istiqomahlah kalian dan jangan menghitung-hitung, beramallah kalian dan sebaik-baik amalan yang kalian lakukan adalah sholat. Tidak ada yang menjaga wudhu kecuali seorang mu'min".
Dalam hadist lain rasulullah juga bersabda, "Sesuaikanlah (amalan) kalian selalu dengan sunah dan (jika tidak mungkin) maka dekatilah".
Maka sebenarnya sesuai dengan sunah adalah istiqomah yang benar dan hakiki, yaitu mengena dalam sunah pada semua perkataan, perbuatan, maksud serta keinginan-keinginannya seperti halnya orang yang melempar sesuatu ke lubang lalu masuk tepat di lubangnya.
Namun dengan catatan hendaknya di bangun di atas niat yang benar, mengenai sasaran. Dan hendaknya mendekat dengan usaha yang tanpa mengenal lelah, karena seberapa usaha kita tetap saja kita tidak akan sanggup untuk bisa sesuai dengan sunah dalam segala sisi. Sebagaimana hadist nabi, "Wahai manusia! Sesungguhnya kalian tidak akan mampu  mengerjakan – atau tidak akan sanggup –  (mengerjakan) semua yang saya perintahkan, akan tetapi (berusahalah) untuk lebih mengenai (yang saya perintahkan) dan berilah kabar gembira". 
Adapun maknanya yaitu sedikit dalam mengenai sunah dan tetap dalam keistiqomahan ketika mengerjakan sunah tersebut. Karena sesungguhnya jikalau kalian selalu berusaha untuk sesuai dengan sunah dalam setiap amalan maka seolah-olah kalian telah melakukan setiap perintah tersebut".
Kaidah kelima,  Istiqomah itu selalu terkait dengan perkataan, perbuatan, dan niat. Istiqomah yang di tuntut dari seorang muslim adalah istiqomah dalam perkataan, perbuatan dan dalam setiap keinginan dan kemauananya. Dengan artian lain bahwa perkataannya seorang muslim, demikian pula amal perbuatan dan juga hatinya hendaknya seluruhnya di kerjakan di atas keistiqomahan.
Rasulullah saw sendiri bersabda, "Tidak akan bisa lurus (istiqomah.pent) imannya seorang hamba sampai hatinya lurus, dan tidak akan bisa lurus hatinya seorang hamba sampai lisannya lurus".
Karena itu lah  perhatian yang terbesar yang harus di perhatikan oleh seorang muslim dalam masalah istiqomah setelah hati dan amalan badannya adalah lisan, sesungguhnya lisan adalah penerjemah dan pengungkap apa yang ada dalam hatinya.
Yang perlu di beri perhatian di sini adalah bagaimana bahayanya hati dan lisan bagi seorang hamba di dalam masalah istiqomah bahkan bisa di katakana keduanya adalah seperti sayap bagi istiqomah. sebagian ulama juga mengatakan bahwa: "Seseorang itu berada dalam besar dan kecilnya apa yang ada dalam hati dan yang di keluarkan oleh lisannya".
Maka hati dan lisan keduanya adalah segumpal daging yang sangat kecil namun seluruh anggota badan seseorang itu mengikuti apa yang dalam kata hati dan ucapan lisan. Oleh karena itu jika hati seseorang itu bisa istiqomah demikian pula lisannya maka  anggota badan tentu akan mengikutinya dalam beristiqomah.
Jika hati seseorang sudah istiqomah maka amalan anggota badan pun akan ikut serta di dalamnya, begitu juga lisan jika ia istiqomah maka anggota badan pun ikut serta di dalam istiqomah. Karena lisan adalah penerjemah apa yang ada di dalam hati seseorang bahkan dia adalah pemimpin bagi amalan dhohir.
Apabila  hati kita telah memerintahkan kepada lisan untuk mengucapkan sesuatu maka lisan pun patuh mengucapkan apa yang menjadi kemauan hati, karena pada hakekatnya lisan adalah pengekor hati sedangkan amal perbuatan maka mereka mengikuti kemauan serta tunduk patuh kepada hati dan lisannya.
Oleh karenanya menjadi suatu kewajiban bagi setiap muslim untuk selalu memperhatikan hatinya dan selalu berusaha untuk memperbaikinya, dengan memohon kepada Allah supaya di luruskan hatinya dan di jauhkan dari  segala macam penyakit hati dari iri, dengki, hasad dan lainnya. Sehingga pada akhirnya akan melahirkan ucapan dan perkataan yang baik sambil di iringi dengan amalan-amalan sholeh.
Kaidah keenam, Tidak ada istiqomah kecuali hanya untuk Allah, bersama Allah dan berjalan di atas perintah Allah. Ada beberapa makna untuk memahami maksud dari kaidah ini
pertama maksudnya yaitu, hanya untuk Allah, maknanya adalah ikhlas karena Allah dengan makna lain seorang hamba beristiqomah dan berpegang dengan kuat untuk selalu  berjalan di atas jalan yang lurus. Ikhlas dengan istiqomahnya karena Allah, mengharap pahala yang ada di sisinya dan mengharap keridhoinya, yang mana Allah  telah berfirman:
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ )البينة: ٥ (
Yang artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus".  (QS al-Bayyinah: 5)
Kedua: Bersama Allah, maknanya selalu meminta pertolongan dari Allah dalam mencari istiqomah, dalam beristiqomah dan agar bisa teguh di atas keistiqomahannya. Allah berfirman:
فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ )هود: ١٢٣(
Yang artinya:"Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan". QS Huud: 123.
Dalam ayat yang lain Allah juga  berfirman:
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ )الفاتحة: ٥(
"Hanya Engkaulah yang Kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan".  QS al-Fatihah: 5.
Hal ini diperkuat di dalam sebuah hadits yang shahih di sebutkan: "Bersemangatlah untuk mendapat yang bermanfaat bagi dirirmu dan minta pertolonganlah (untuk itu) kepada Allah".
Ketiga: Berjalan di atas perintah Allah maknanya adalah hendaknya dalam beristiqomah dia menempuh manhaj (metode) yang benar, yaitu jalan yang lurus yang telah Allah perintahkan kepada hambaNya, sebagaimana hal itu termaktub dalam firmanNya:
فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ )هود:١١٢ (
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu..". QS Huud: 112.
Kaidah ke tujuh, Bagi seorang muslim walupun sudah dapat beristiqomah namun jangan sampai bersandar kepada amalannya.
Sebesar apapun dan sebaik apapun istiqomah yang telah di miliki oleh seorang muslim maka jangan sampai dia menyandarkan pada amalanya serta tertipu dengan ibadahnya, tidak pula dengan banyaknya dzikir yang keluar dari bibirnya, serta ketaatan-ketaatan yang lainnya.
Dalam hal ini Imam Ibnu Qoyyim menegaskan, "Yang di tuntut dari seorang hamba dalam masalah istiqomah adalah mendekatinya (walaupun tidak bisa) seratus persen untuk bertepatan dengan istiqomah dalam segala sisi, maka jika tidak mampu untuk istiqomah setidaknya dia bisa lebih mendekati istiqomah. Sehingga jika itu juga sudah tidak mampu lagi maka yang ada adalah tafrith (kurang) dan idho'ah (menyia-nyiakan), hal itu sebagaimana hadits yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari haditsnya Aisyah ra. beliau bersabda, "Berusahalah agar (sesuai dengan) sunah, mendekatlah jika (tidak mampu  mengerjakan seluruhnya) dan berilah kabar gembira (pada orang lain), sesungguhnya tidak ada seorangpun yang akan masuk surga dengan sebab amalannya". Maka di katakan kepada Rasulallah: "Tidak pula engkau wahai Rasulallah? Beliau menjawab, "Tidak pula saya, kecuali bahwa Allah telah mengampuni saya dengan ampunanNya dan rahmatNya".
Dalam hadits yang mulia ini telah terkumpul dan tercakup di dalamnya kedudukan agama secara sempurna, di dalamnya ada perintah agar beristiqomah yaitu berusaha (untuk selalu sesuai dengan sunah) dan berusaha agar amalannya baik itu niat maupun perkataan serta amalan perbuatannya tepat dan sesuai dengan sunah, hal ini diperkuat lahi dengan hadist nabi:  "Istiqomahlah kalian dan janganlah menghitung-hitung (amalan kalian), dan beramallah sesungguhnya amalan yang paling baik yang kalian kerjakan adalah sholat". Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa mereka tidak akan sanggup untuk beristiqomah secara sempurna sehingga ketika keadaannya sudah demikian maka di anjurkan supaya mereka lebih mendekati dalam beristiqomah yaitu berusaha agar dia bisa beristiqomah sesuai dengan kadar kemampuannya.
Seperti halnya orang yang sedang melempar sesuatu kesebuah lubang (sasaran) jika dia tidak bisa memasukan tepat kelubangnya maka lebih dekat dengan sasaran itu lebih baik baginya. Namun dengan ini semua Nabi mengkhabarkan bahwa walaupun mereka sudah berusaha untuk selalu istiqomah dan ketika tidak sanggup mereka berusaha untuk lebih dekat dengan istiqomah namun semua itu tidak bisa menyelamatan mereka pada hari kiamat. Oleh karena itu jangan sampai  ada seseorangpun yang bersandar dengan amalannya merasa bangga dengan amal perbuatannya, jangan berfikir bahwa dia akan selamat dengan sebab amalannya namun dia akan selamat dengan sebab rahmat Allah, ampunannya dan keutamaannya".
Kaidah ke delapan, Buah dari istiqomah di dunia adalah bisa istiqomah ketika meniti shirot (jalan) pada hari kiamat nanti.
Siapa yang telah di beri hidayah (petunjuk) untuk meniti shirothol mustaqim (jalan yang lurus) yaitu jalannya Allah di dunia ini maka dia akan di beri hidayah di kampung akhirat nanti ketika sedang menyebrangi shirot yang di bawahnya adalah neraka jahanam. Maka pada hari kiamat seseorang akan berjalan melewati shiroth yang telah di bentangkan di atas neraka jahanam yang mana dia lebih tajam dari pada mata pedang dan lebih lembut dari pada rambut.
Setiap manusia di perintahkan untuk melewati shiroth (titian) ini, namun pada akhirnya setiap orang saling berbeda-beda di dalam cara melewatinya sesuai dengan kadar amal perbuatannya ketika masih di dunia, demikian pula sesuai dengan keistiqomahanya dalam menempuh shirothol mustaqim pada kehidupannya di dunia.
Imam Ibnu Qoyyim mengatakan, "Barangsiapa yang telah diberi hidayah (petunjuk) di dunia ini kepada shirothol mustaqim (jalan yang lurus) oleh Allah Azza wa jalla yang mana  Allah Ta'ala telah mengutus para rasulnya dengannya  dan menurunkan bersama mereka kitab-kitabnya, dengan sebab itu dia akan diberi hidayah ketika meniti shiroth yang akan mengantarkan kepada surgaNya dan negeri balasan. Namun ketetapan seorang hamba di atas shiroth ini yang mana di bentangkan oleh Allah di dunia akan menjadikan tetapnya dia ketika melewati shiroth yang berada di atas  neraka jahanam di akhirat nanti sesuai dengan kadar  amalannya, dan seberapa besar ia didalam (menempuh) pada jalan yang lurus ini (ketika didunia) maka begitu pula kadarnya ketika melewati shiroth di akhirat nanti sehingga di antara mereka ada yang melewatinya secepat kilat, di antara mereka ada yang melewatinya seperti kedipan mata, di antara mereka ada yang melewatinya secepat angin, ada yang seperti orang yang naik kendaraan, ada yang seperti orang yang berlari, ada yang seperti orang yang berjalan kaki,  dan ada di antara mereka yang merangkak, ada yang tersambar oleh api neraka dan ada yang terjatuh kedalamnya, maka seorang hamba dalam melewati shiroth sesuai kadar ia di dalam menjalani shirotol mustaqim sebagai balasan yang setimpal, Allah Ta'ala berfirman:
هَلۡ تُجۡزَوۡنَ إِلَّا مَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ )النمل: ٩٠(
Artinya: "Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang dahulu kamu kerjakan". QS an-Naml: 90.
Perhatikan serta berhati-hatilah terhadap syubhat (kerancuan.) dan syahwat (hafa nafsu) yang akan memalingkan dari jalan yang lurus ini, maka sesungguhnya shiroth adalah (seperti) besi bengkok yang akan menjauhkan dari shiroth tersebut kemudian ia tersambar oleh api neraka, dan terhalangi untuk melewatinya, walaupun demikian Allah berfirman:
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّٰمٖ لِّلۡعَبِيدِ )فصلت: ٤٦ (
Artinya: "Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya hamba-hambaNya". QS Fushilat: 46.
Dalam kesempatan yang lain beliau menegaskan: "Barangsiapa yang dalam kehidupan di dunia ini telah tersambar fitnah syubhat serta syahwat (sehingga) berpaling dari jalan yang lurus, maka dia akan tersambar oleh jilatan api mana kala melewati shiroth pada hari kiamat nanti seperti halnya dia tersambar oleh (fitnah) syubhat dan syahwat didunia, dan pada tempatnya ada pembahasan yang lain".
Kaidah ke sembilan, Pencegah untuk istiqomah adalah syubhat yang menyesatkan dan syahwat yang melalaikan 
Segala macam bentuk syubhat (kerancuan) dan syahwat (hawa nafsu) maka keduanya adalah pencegah serta pemutus yang dapat menghadang seseorang untuk selalu bisa istiqomah. Seorang yang sedang berjalan menempuh jalan yang lurus, yang mana di dalam perjalanannya tersebut (tanpa sadar) dia terus menerus (terjatuh) di dalam fitnah syubhat dan syahwat yang memalingkannya dari jalan yang lurus (maka dirinya akan terpalingkan) jauh dari jalan  yang lurus .
Maka setiap orang yang telah melenceng dari istiqomah (dan dari jalan yang lurus), itu semua tidak bisa terlepas dari dua perkara ini, baik itu di sebabkan oleh fitnah syahwat maupun fitnah syubhat. Dengan syahwat dia akan merusak amalan yang telah di kerjakan, sedangkan dengan sebab fitnah syubhat maka dia akan merusak ilmunya.
Allah swt berfirman:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ )الأنعام: ١٥٣(
Yang artinya: "Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya". QS al-An'am: 153.
Telah tetap di dalam sebuah hadits Ibnu Mas'ud mengatakan: "Rasulullah pernah menggaris (di hadapan) kami sebuah garis yang lurus, kemudian Rasulullah mengatakan: "Ini adalah jalannya Allah", lalu beliau menggaris garis-garis (yang lain) di samping kiri dan kanannya. Kemudian mengatakan: "Ini adalah jalan-jalan yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang mengajak kepadanya", beliau lalu membaca firman Allah surat al-an’am ayat 153
Oleh karena itu setan yang mengajak manusia untuk berpaling dari jalan Allah yang lurus, maka ajakannya tersebut tidak lepas dari syubhat (kerancuan dan kesamaran)  yang telah di tebarkan oleh setan serta syahwat  yang melalaikan.
Maka jika setan melihat ada seseorang yang sedang dalam keadaan lalai (melampaui batas) maka setan jadikan dirinya cinta dengan hawa nafsu yang ada, namun jika setan mengetahui bahwa dirinya dalam kondisi yang  sehat, semangat serta selalu menjaga keistiqomahannya maka dirinya dijerumuskan kedalam keraguan serta kesamaran di dalam beragamanya. Sebagaimana yang di katakan oleh sebagian ulama salaf: "Tidaklah Allah memerintahkan kepada hambaNya sebuah perintah kecuali ada dua cara bagi setan untuk menggoda bani adam, adakalanya (supaya) mereka melalaikan serta meremehkan (pada perintah tersebut), dan adakalanya diantarkan mereka sampai (batas) yang tidak wajar sehingga mereka ghuluw (berlebih-lebihan.pent). maka dengan dua hal inilah setan menghasut anak cucu Adam dan setan tidak peduli dengan mana dari keduanya ia tancapkan kuku-kukunya kepada anak cucu Adam".
Imam Ibnu Qoyyim mengatakan: "Sungguh kebanyakan manusia, mereka tidak sanggup untuk bisa melewati dua lembah ini (dua perkara ini.pent) kecuali sedikit sekali diantara mereka yang bisa selamat. Lembah yang pertama yaitu lembah (bersikap) meremehkan dan yang kedua yaitu lembah (bersikap) berlebih-lebihan serta melampaui batas. Dan sangat sedikit sekali di antara mereka yang bisa tetap teguh di atas jalan yang lurus (yaitu jalan) sebagaimana yang telah di tempuh oleh Rasulallah dan para sahabatnya".  
Di sini saya akan nukilkan sebuah contoh yang sangat agung serta besar faidahnya, bahkan contoh ini merupakan sebuah pelajaran yang sangat berfaidah bagi kita semua. Sebagaimana telah shahih di dalam Musnad Imam Ahmad dan dalam Sunan Imam Tirmidzi dan selain keduanya yang di riwayatkan dari Nawaas bin Sam'an semoga Allah meridhoinya dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah Ta'ala telah memberi sebuah permisalan bagi jalanNya yang lurus, maka pada samping kiri dan kanannya ada dua tembok (yang) masing-masing memiliki pintu yang  terbuka (hanya) tertutupi oleh penutup maka di depan pintu shiroth (jalannya Allah yang lurus) ada penyerunya sambil mengatakan: "Wahai sekalian manusia masuklah kalian semua kejalannya Allah yang lurus jangan berbelok-belok". Dan ada pula yang menyeru di atas shiroth yang mana kala manusia akan mencoba untuk membuka (dua pintu) yang ada di kanan dan kirinya (shiroth) maka di seru kepadanya: "Celakalah kamu, jangan coba (untuk) sekali-kali membukanya! Sesungguhnya jika kamu membukanya maka kamu akan masuk kedalamnya". Maka (perumpamaan) shiroth adalah Islam sedangkan suuroon (dua tembok.pent) adalah batasan-batasannya Allah sedangkan pintu-pintu yang terbuka adalah larangan-larangannya Allah. (Adapun) penyeru yang berada di depan shirot adalah kitabullah sedangkan penyeru yang berada di atas shiroth adalah perasaan (yang akan mencegah) dalam hati setiap muslim".
Perhatikanlah perumpamaan di atas niscaya Allah akan memberi manfaat kepadamu, Allah telah memberi sebuah permisalan akan jalanNya yang lurus, yang mana pada kiri kanannya terdapat suuraan (dua tembok), yang kalau di gambarkan maka engkau sedang berjalan di sebuah jalan yang lurus sedangkan disisi kananmu ada tembok demikian pula di sisi kirimu pun ada tembok, dan pada tembok teersebut ada pintu-pintu yang sangat banyak yang engkau lewati di sisi kiri dan kananmu. Ada pun pintu-pintu ini hanya tertutupi tirai (yang mudah sekali untuk disingkap), sebagaimana kamu ketahui bahwa pintu kalau hanya tertutupi oleh tirai tidak seperti pintu yang memiliki daun pintu, pintu itu sangat mudah sekali bagi dirimu untuk memasukinya dan tidak ada yang menghalanginya sama sekali. Seorang muslim yang jujur dan istiqomah jika dirinya menginginkan untuk masuk pada pintu syahwat maka akan ia dapati bahwa hatinya akan menolak serta berontak, tidak merasa tenang dan tentram, maka inilah teguran dari Allah yang ada pada hati setiap  muslim.
Dan yang menjadi penguat dalam hadits di atas adalah bahwasannya pada sisi kiri dan kanan jalan istiqomah tersebut ada pintu-pintu yang akan mengeluarkan seorang manusia dari jalan istiqomah, dan pintu-pintu tersebut semuanya kembali pada dua perkara, mungkin ke syubhat (kesamaran dan keraguan) dan yang kedua adalah ke hawa nafsu.    
Imam Ibnu Qoyyim berkata, "Allah telah membentangkan jembatan yang akan di lewati oleh setiap orang menuju syurga, dan diciptakannya api yang menjulur-julur yang akan menyambar setiap orang sesuai dengan amalanya ketika di dunia, demikian juga api kebatilan yang menjulur-julur dari syubhat serta kesesatan, adapun syahwat (hawa nafsu) yang melalaikan pelakunya akan mencegah orang yang melakukannya dari istiqomah dan dari jalan kebenaran serta ketika menempuh di jalan kebenaran, dan orang yang di jaga maka dialah yang telah di jaga dan di selamatkan oleh Allah ".
Dan seorang hamba pada keadaan seperti ini (masalah istiqomah) membutuhkan dua hidayah agar bisa selamat di dalam perjalanannya yaitu hidayah kepada jalan yang lurus serta hidayah ketika menempuh di jalan yang lurus tersebut.
Imam Ibnu Qoyyim menegaskan hal ini dengan mengatakan, "Maka (meminta) hidayah menuju shirothol mustaqim (jalan yang lurus) adalah perkara yang lain sedangkan hidayah di dalam menempuh jalan yang lurus tersebut adalah sesuatu yang lain, tidaklah kamu ketahui bahwa seseorang yang telah mengetahui bahwa ada jalan fulan pada sebuah kota adalah jalan yang sifatnya begini dan begitu, akan tetapi tidak mungkin bisa melewati dengan benar pada jalan tersebut, karena ketika ingin berjalan melewatinya membutuhkan petunjuk khusus pada jalan tersebut, seperti harus berjalan pada waktu tertentu yang tidak bisa di lewati pada waktu tertentu, membawa air sesuai dengan ukuran perjalanan yang akan di tempuh, berhenti pada tempat tertentu, ini hanyalah permisalan tentang petunjuk yang dibutuhkan pada sebuah perjalanan yang terkadang dilupakan oleh orang bahkan oleh orang yang paham akan jalan tersebut sehingga dia binasa tidak sampai pada tujuan".
Kaidah ke sepuluh, Tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir termasuk perkara terbesar yang bisa memalingkan dari istiqomah
Adapun tasyabuh dengan orang-orang kafir kembali pada dua perkara yang di sebabkan oleh kerusakan adakalanya karena ilmunya yang tidak benar atau adakalanya karena amalannya yang tidak sesuai dan semua itu disebabkana oleh kerusakan.
Maka perhatikan makna kalimat ini yang terkandung dalam firman Allah Ta'ala:
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ  صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ )٧-٦(
Artinya: "Tunjukilah Kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai (yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (nashrani). QS al-Fatihah: 6-7.
Maka kerusakan serta penyelewengan kaum yahudi adalah di karenakan rusaknya di dalam mengamalkan agamanya, karena mereka berilmu namun tidak mau mengamalkan ilmunya. Sedangkan kerusakan yang timbul di antara nashrani adalah di karenakan rusaknya ilmu mereka, mereka beramal tanpa disertai dengan ilmu yang mumpuni.
Sedangkan kerusakan yang timbul dalam pembahasan kita adalah adakalanya (tidak bisa terlepas) mungkin di karenakan menyerupai yahudi di mana seseorang memiliki ilmu namun tidak mau mengamalkannya, atau kemungkinan yang kedua adalah menyerupai nashrani yang mana mereka beramal namun tidak di sertai dengan ilmu dan dalil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menamakan mereka di dalam bukunya yang berjudul "Iqtidho shirothol mustaqim mukholifata ashabal jahim" dan telah mengisyaratkan dalam bukunya tersebut beberapa perkara yang berkaitan dengan kebiasaan ahlu kitab (yahudi dan nashrani) yang sudah mempengaruhi umat ini. Sedangkan bagi seorang muslim maka hendaknya dia berpaling jauh-jauh dari tasyabuh dengan orang-orang kafir agar tidak melenceng dari jalan yang lurus sehingga ketika melenceng darinya dia akan berjalan di atas jalan yang dimurkai oleh Allah atau jalan yang sesat. Sebagaimana telah tergambar dalam firman Allah Ta'ala:
وَدَّ كَثِيرٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ لَوۡ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ بَعۡدِ إِيمَٰنِكُمۡ كُفَّارًا حَسَدٗا مِّنۡ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡحَقُّۖ )البقرة: ١٠٩(
"Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran". (QS al-Baqarah: 109).
Beliau syaikhul Islam mengatakan: "Maka yahudi dicela di karenakan hasadnya mereka kepada orang-orang yang beriman yang berada di atas petunjuk dan ilmu yang bermanfaat, namun sangat di sayangkan ada sebagian orang yang telah menasabkan dirinya kepada ilmu atau yang lainnya telah terfitnah dengan penyakit hasad ini yang mana pada kenyataannya orang tersebut telah Allah beri petunjuk mereka dengan ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shaleh. Maka merekalah orang-orang yang tercela dengan penuh kepastian, dan ini dalam permasalahan ini termasuk dalam akhlak yang di murkai oleh Allah".
Kemudian beliau menyebutkan di dalam kitabnya tersebut beberapa contoh dari kebiasaan yang termasuk kebiasaan orang-orang yahudi maupun nashrani yang ditiru oleh banyak kaum muslimin, dan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhabarkan akan hal itu dalam sabdanya: "Sungguh akan ada orang-orang yang akan mengikuti sunah (perjalanan, kebiasaan) orang-orang sebelum mereka, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sampai-sampai kiranya mereka masuk ke lubang biawak sekalipun pasti akan ada yang  mengikuti mereka".
Macam-macam dan Bentuk-bentuk istiqomah
Para ulama’ membagi istiqomah kedalam lima macam antara lain:
Pertama      : istiqomah lidah atau lisan, yaitu tetap ingat (dzikir) kepada allah dengan mengucap syukur atas segala nikmatnya.
Kedua        : istiqomah badan, yaitu membiasakan diri kita menaati segala perintah Allah, memiliki perasaan malu kepada allah dan kepada manusia.
Ketiga        : istiqomah hati, artinya senantiasa takut kepada allah, tidak berputus asa, baik pada waktu sehat maupun pada waktu sakit, dan berbaik sangka kepada allah.
Keempat  : istiqomah jiwa, yaitu selalu benar dan suci jiwa dari pada kenistaan
Kelima     : istiqomah hidup, yaitu seluruh hidup kita ditujukan untuk memperoleh kemuliaan dari allah SWT
Selain yang telah disebutkan diatas ulama’ juga menyebutkan bentuk-bentuk dari istiqomah yang terbagi dalam tiga bentuk:
ü  Istiqâmah dalam Aqidah

Artinya:
“dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa”. (QS Al-An’am: 153).
ü  Istiqâmah dalam Syar’iah
 artinya:
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.(QS Al-Jaatsiyah: 18)
ü  Istiqâmah dalam Perjuangan
 
Artinya:
“ Maka boleh jadi kamu hendak meniggalkan sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karea khawatir bahwa mereka akan mengatakan: mengapa tidak diturunkan kepadanya perbendaharaan (kekayaan) atau datnag bersama-sama dengan dia seorang malaikat? Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan dan Allah Pemelihara segala sesuatu” (QS Huud: 12).
DR. Mushthafa al-Buga dalam kitabnya al-Waafi menyebutkan pentingnya istiqamah hati, karena inilah landasan dari sikap istiqamah itu. Istiqamah hati dalam bertauhid kepada Allah dengan cara takut, mengharap, tawakkal dan beribadah kepada-Nya serta meninggalkan selain Allah . apabila hati bisa istiqamah dalam kebaikan maka anggota tubuh yang lain akan mengikutinya,
sebagaimana sabda Rasulullah:
Artinya, “Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada sekerat daging, jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya dan jika ia rusak maka rusaklah jasad seluruhnya. Ketahuilah ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyiir).
Hati adalah sumber kebaikan dan keburukan seseorang. Bila hati penuh dengan ketaatan kepada Allah, maka perilaku seseorang akan penuh dengan kebaikan. Sebaliknya, bila hati penuh dengan syahwat dan hawa nafsu, maka yang akan muncul dalam perilaku adalah keburukan dan kemaksiatan. Keburukan dan kemaksiatan ini bisa datang karena hati seseorang dalam keadaan lengah dari dzikir kepada Allah.
Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata, "Apabila hati seseorang itu lengah dari dzikir kepada Allah, maka setan dengan serta merta akan masuk ke dalam hati seseorang dan mempengaruhinya untuk berbuat keburukan. Masuknya setan ke dalam hati yang lengah ini, bahkan lebih cepat daripada masuknya angin ke dalam sebuah ruangan."
Oleh karena itu hati seorang mukmin harus senantiasa dijaga dari pengaruh setan ini. Yaitu, dengan senantiasa berada dalam sikap taat kepada Allah. Upaya inilah yang disebut dengan Istiqamah. Imam al-Qurtubi berkata, "Hati yang istiqamah adalah hati yang senantiasa lurus dalam ketaatan kepada Allah, baik berupa keyakinan, perkataan, maupun perbuatan." Lebih lanjut beliau mengatakan, "Hati yang istiqamah adalah jalan menuju keberhasilan di dunia dan keselamatan dari azab akhirat.
Hati yang istiqamah akan membuat seseorang dekat dengan kebaikan, rezekinya akan dilapangkan dan akan jauh dari hawa nafsu dan syahwat. Dengan hati yang istiqamah, maka malaikat akan turun untuk memberikan keteguhan dan keamanan serta ketenangan dari ketakutan terhadap adzab kubur. Hati yang istiqamah akan membuat amal diterima dan menghapus dosa."
Ada banyak cara untuk menggapai hati yang istiqamah. Di antaranya:
Pertama, meletakkan cinta kepada Allah di atas segala-galanya. Ini adalah persoalan yang tidak mudah dan butuh perjuangan keras. Karena, dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengalami benturan antara kepentingan Allah dan kepentingan makhluk, entah itu kepentingan orang tua, guru, teman, saudara, atau yang lainnya. Apabila dalam kenyataanya kita lebih mendahulukan kepentingan makhluk, maka itu pertanda bahwa kita belum meletakkan cinta Allah di atas segala-galanya.
Kedua,  membesarkan perintah dan larangan Allah. Membesarkan perintah dan larangan Allah harus dimulai dari membesarkan dan mengagungkan pemilik perintah dan larangan tersebut, yaitu Allah. Membesarkan perintah Allah di antaranya adalah dengan menjaga waktu salat, melakukannya dengan khusyu, memeriksa rukun dan kesempurnaannya serta melakukannya secara berjamaah.
Ketiga,   senantiasa berzikir kepada Allah karena itulah perintah Allah dan Rasul-Nya  sebagaimana yang disebutkan dalam hadis qudsi Allah berfirman, "Barangsiapa yang mengingat-Ku di dalam dirinya, maka Aku akan mengingat-Nya dalam diri-Ku. Dan barang siapa yang mengingat-Ku dalam keramaian, maka Aku akan mengingat-Nya dalam keramaian yang lebih baik darinya." (HR Bukhari).
Keempat, Mempelajari kisah orang-orang saleh terdahulu. Hal ini diharapkan agar kita bisa mengambil pelajaran dari mereka. Bagaimana kesabaran mereka ketika menghadapi ujian yang berat, kejujuran mereka dalam bersikap, dan keteguhan mereka dalam mempertahankan keimanan.
Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
" Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. al-Qur'an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf :111).
Disamping istiqamah hati, pada kitab yang sama al-Buga juga menulis pentingnya istiqamah lisan karena ia merupakan pengungkap kata hati. Ketika Rasulullah ditanya tentang apa yang paling beliau khawatirkan dari umatnya. Tanpa berbicara beliau memegang lidahnya. (HR.Turmudzishahih).
 DR. Ahmad bin Yusuf al-Duraiwisy dalam bukunya al-Istiqamah menyebutkan beberapa rukun atau pondasi untuk membangun keistiqamahannya  diantaranya keshalihan, keteguhan dalam sunnah dan jamaah, sikap pertengahan antara ekstrim dan menyepelekan, akhlak yang mulia, dan teman yang shalih.
Dalam kitab Haqiqatul iltizam-nya Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrien menambahkan beberapa hal yang diperhatikan untuk menjaga keistiqamahan diantaranya Berusaha mengamalkan Assunnah semampunya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash berkata : Rasulullah bersabda “Akan terjadi pada umatku apa yang terjadi pada bani Isra’il setapak demi setapak ,sampai kalau ada diantara mereka yang mendatangi ibunya dalam keadaan terbuka juga akan terjadi pada umatku seperti itu ,dan sesungguhnya bani Isra’il terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan semuanya di Neraka kecuali satu ,para sahabat bertanya :siapa mereka itu ya Rasulullah? beliau menjawab“ siapa yang bisa sepertiku dan sahabatku. (HR. Atturmuziy).
 Di samping itu seorang yang ingin tetap istiqamah harus banyak thalabul ilmu agar tidak terjebak kepada amaliyah yang tidak ada tuntunan syariahnya. Dari sinilah Imam Al-Bukhari menulis sebuah bab dalam kitabnya “Bab al’ilmu qabla alqaul wa’lamal” Juga berusaha menjauhi perbuatan maksiat atau hal yang tidak bermanfaat, Allah Azza wa Jalla berfirman:
“ Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengatahui. (QS. Ali imran :135).
Yang dimaksud dengan al-ishrar (meneruskan perbuatan kejinya) dalam ayat diatas adalah “Seorang mengerjakan dosa kemudian menyepelekannya.
 Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda “Termasuk kebaikan islam seseorang ,meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya” (HR- At-Tirmidziy-hasan). Untuk menjaga keistiqamahan Syaikh Abu Mushab dalam kitabnya al- Ilmam fi Asbaab Dho’fi al-Iltizam menyebutkan beberapa perbuatan yang bisa melemahkan keistiqamahan diantaranya lemahnya keikhlasan, kurangnya ilmu syar’i dan jauhnya dari ahli agama, lemahnya muhasabah, sibuk dengan keluarga, al-Faudhawiyah (kesemrawutan), sibuk dengan aib orang lain, tidak menghargai waktu, bergaul dengan orang yang tidak baik, dan tidak mempunyai semangat dan harapan. Akhirnya marilah senantiasa kita berdoa kepada Allah Dia memberikan kita keistiqamahan hati di dalam agama-Nya
Sebagaimana yang dicontohkan olehRasulullah seperti yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi beliau berdoa:
Ketika ditanya oleh Ummu Salamah kenapa begitu sering mengucapkan doa tersebut, Beliau menjawab; Wahai Ummu Salamah ! sesungguhnya tidak ada satupun anak Adam kecuali hatinya berada diantara jari-jari Allah . Kalau Dia Berkehendak untuk menjadikannya istiqamah ia jadikan, dan barangsiapa yang dikehendaki untuk menyeleweng Diapun berkuasa.Kemudian Rasulullah membaca ayat:
Artinya:
“ Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)" (QS. Ali imran:8).
Faktor-Faktor Yang Melahirkan Istiqâmah
Dalam mennjalankan sebuah komitmen memerlukan konsistensi, sikap konsistensi (istiqomah) adalah sikap teguh pendirian dan selalu konsekuen, seseorang yang memiliki niat dan keyakinan yang kuat tidak akan pernah goyah menghadapi rintangan, hambatan. Dalam suatu perbuatan pasti ada hal-hal yang mepengarui perbuatan tersebut, begitu pula dengan istiqomah, terdapat faktor-faktor yang mempengarui istiqomah, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya “Madaarijus Salikiin” menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu melahirkan istiqomah dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut;
1.         Beramal dan melakukan optimalisasi
“artinya:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong” (QS al-hajj:78).
2.  Berlaku moderat antara tindakan melampui batas dan menyia-nyiakan


Artinya:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS al furqon:67).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
Artinya:
Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka”(HR Imam Ahmad dari sahabat Anshar)
3. Tidak melampui batas yang telah digariskan ilmu pengetahuannya

artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggung jawaban” (QS isra’:36).
4.  Tidak menyandarkan pada faktor kontemporal, melainkan bersandar pada sesuatu yang jelas.
5. Ikhlas

artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh, melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS al bayyinah:5).
Inilah sebuah dalil yang menunjukkan tentang keihlasan seseorang dalam beribadah, ikhlas sendiri berarti tulus hati atau hati yang bersih, adapun yang dimaksud dengan ikhlas secara luas adalah mengerjakan ibadah semata-mata hanya mengharapkan ridha Allah.
Perbuatan ikhlas adalah perbuatan yang timbul karena keinginan sendiri, bukan karena perintah atau paksaan dari orang lain. Jika mengerjakan sesuatu karena mengharapkan sesuatu maka perbuatan itu belum bisa dikategorikan dengan ikhlas. Suatu pekerjaan akan terasa lebih ringan jika dikerjakan dengan ikhlas dan sebaliknya akan terasa berat jika dilakukan dengan terpaksa.
Ikhlas atau tidaknya seseorang dalam melakukan sesuatu perbuatan sangat tergantung kepada niatnya, apalagi jika berhubungan dengan perbuatan yang termasuk ibadah maka niat menjadi penentu, jika niatnya baik maka hasilnya pun akan baik, Rasulullah Saw sendiri bersabda:
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِيَّاتِ وَاِنَّماَ لِكُلِّ امْرِءٍ مَّا نَوَى
Artinya:
“sesungguhnya nilai perbuatan itu tergantung dengan niat-nya, dan sesungguhnya bagi setiap orang (ganjaran atau pahala) menurut apa yang di niatkan”
Allah menyuruh kita beramal dengan ikhlas agar amal yang kiita kerjakan itu bermanfaat, baik ketika kita berada di dunia maupun saat berada di akhirat kelak. Sebab jika kita beramal dengan ketidak ikhlasan maka amal yang kita kerjakan akan sia-sia. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 264 yang artinya sebagai berikut “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’kepada manusia dan dia tidak beriman kepada allah dan hari kemudian, maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpai hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah)”
6.   Mengikuti Sunnah
قَالَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةُ نَبِيَّه
Artinya:
“Telah aku tinggalkan bagi kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selamanya selagi berpegang tegung dengannya yaitu Al-Qur’an dan sunnah para nabinya”(HR Imam Malik dalam Muatta’).
7.  Meninggalkan Dosa
Dosa memberikan noda-noda hitam di hati manusia, sehingga apabila noda hitam itu telah memenuhi hati ia akan menjadi gelap gulita, tak dapat mengenal yang ma’ruf tidak juga mengingkari yang mungkar, disebutkan dalam hadis:
تُعْرَضُ الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ الصَّفَا فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتْ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
Artinya: Fitnah akan ditampakkan kepada hati seperti tikar seutas demi seutas, hati mana saja yang menerimanya akan diberikan titik hitam dan hati mana saja mengingkarinya akan diberi titik putih, sehingga menjadi dua hati: Hati yang putih bagaikan batu shofa, tidak terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada. Dan hati yang hitam seperti cangkir yang terbalik; tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.” (HR. Muslim)
Dosa melemahkan pengagungan seseorang terhadap Allah di hatinya dan menghilangkan rasa takut dari adzab-Nya. Engkau lihat orang yang banyak berbuat maksiat lisannya terasa berat untuk menyebut nama Allah, ia ganti dengan nama “Tuhan” atau “Yang di atas” atau yang semacamnya. Ia tidak memandang adzab sebagai peringatan namun hanya sebatas fenomena alam dan bencana biasa akibat alam yang tidak ramah katanya.
Orang yang keadaannya demikian akankah mampu beristiqamah di jalan Allah?! Selamanya tidak, karena dosa sudah dianggapnya remeh dan tidak lagi merasakan sakitnya maksiat akibat hati yang telah gelap dan mati, dan mayat tak akan merasakan lagi sakitnya tusukan pedang dan tombak.
8. Banyak Bertaubat dan Kembali kepada Allah
Bertaubat adalah pembersih kotoran dosa yang melekat di hati manusia, dan ia adalah salah satu obat yang dapat menjaga kesehatan hati, Ibnu Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa cara menjaga kesehatan hati berkaitan erat dengan cara menjaga kesehatan badan, dan beliau menyebutkan bahwa menjaga kesehatan badan adalah dengan tiga cara, beliau berkata: “Poros kesehatan adalah dengan :
  1. Menjaga stamina
  2. Menjauhi penyakit dan
  3. Mengeluarkan unsur yang rusak
Perhatian para dokter berporos kepada tiga pokok ini, dan Alquran telah menunjukkan kepadanya. adapun menjaga stamina, Allah Ta’ala mengizinkan musafir dan orang sakit untuk berbuka puasa Ramadan dan mengqadhanya ketika telah mukim dan sehat, ini dalam rangka menjaga kekuatan mereka karena puasa dapat menambah lemah bagi orang yang sakit, dan musafir membutuhkan kekuatan untuk menghadapi lelahnya perjalanan sedangkan puasa membuatnya lemah.
Adapun menjauhi penyakit, Allah Swt  memberikan keringanan kepada orang yang sakit untuk tidak mempergunakan air dalam wudlu dan mandi jika air itu semakin menambah penyakitnya, dan memerintahkan untuk bertayammum dalam rangka menjaganya dari sesuatu yang dapat menambah penyakit badannya.
Adapun mengeluarkan unsur yang rusak, Allah mengizinkan bagi orang yang sedang ihram untuk mencukur rambut yang menyakitinya karena banyaknya kutu yang menyerang, dan ini cara yang paling mudah dalam mengeluarkan unsur yang rusak.
Jika engkau megetahui ini, hati pun membutuhkan sesuatu yang dapat menjaga staminanya yaitu iman dan ketaatan, dan harus dijaga dari sesuatu yang dapat merusak dan mendatangkan penyakitnya yaitu dosa, maksiat, dan berbagai macam bentuk penyimpangan. Dan harus dikeluarkan darinya unsur yang rusak yaitu dengan taubat nasuha dan memohon ampunan kepada Allah yang Maha mengampuni dosa.”
Rasulullah saw  telah mengabarkan tentang fitnah yang bergelombang dimana fitnah itu akan ditampakkan kepada hati seperti tikar seutas demi seutas, hati mana saja yang menerimanya akan diberikan titik hitam dan hati mana saja mengingkarinya akan diberi titik putih, sehingga menjadi dua hati: Hati yang putih bagaikan batu shofa, tidak terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada, dan hati yang hitam seperti cangkir yang terbalik; tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.
Maka di zaman fitnah ini kita harus lebih banyak bertaubat dan istighfar untuk menghilangkan noda-noda hitam di hati akibat maksiat dan fitnah yang merasuki hati kita, tentunya taubat yang disertai penyesalan, bertekad untuk tidak melakukannya lagi dan meninggalkan maksiat tersebut selama hayat dikandung badan. Inilah jalan menuju istiqamah agar hamba meraih husnul khatimah.
Faktor-Faktor penghalang Istiqâmah
Syekh Musnid al Qahthany, dalam bukunya, “Meniti Jalan Istiqamah”, terbitan Pustaka Al Bashirah, menjelaskan beberapa faktor penghalang istiqamah, di antaranya;
1.      Menunda-nunda (taswif) istiqamah. Banyak orang yang mengerti, keutamaan istiqamah. Namun, kadang menunda istiqamah, menunda bertobat kepada Allah. Seolah-olah, hidup matinya, di tangan dirinya, bukan di tangan Allah.
2.      Teman-teman yang buruk. Banyak orang yang ingin bertaubat dan istiqamah. Tapi, akibat berteman dengan orang tidak baik, akhlaknya buruknya. Dirinya tidak dapat istiqamah. Benarlah, sabda Rasulullah, untuk melihat iman seseorang, maka lihatlah kepada siapa yang bergaul. Bagi yang ingin segera bertaubat, istiqamah di atas jalan Islam. Segeralah, dan secepatnya meninggalkan temannya yang perangainya tidak baik, dan bergaul dengan orang-orang shaleh.
3.      Keluarga dan kerabat. Salah satu, yang kadang menjadi penghalang dalam menegakkan agama, istiqamah dengan ajaran Islam, adalah keluarga dan kerabat dekat. Banyak, yang ingin berdakwah, menyerukan kebenaran, istiqamah di atas Islam. Tapi tersandung pada keluarga, dan kerabat. Ada yang diboikot, tidak diberi ongkos kuliah, tidak dinafkahi, isolir sama keluarga, hingga diusir, tidak diakui sebagai keluarga.
Bagi, siapa saja yang mengalami nasib seperti di atas, hendaknya jangan berputus asa. Bersabar, bertawakal, berdoa kepada Allah, agar dikuatkan menghadapi cobaan, serta mendoakan keluarganya agar diberi hidayah oleh Allah. Sehingga, dapat menerima kebenaran Islam dan dapat mendukung dakwah Islam.
4.      Terlalu larut dalam perkara-perkara mubah. Menurut Ibnu Qayyim rahimahullah: bahwa fase-fase godaan syetan pada manusia, yakni membuat manusia tenggelam dan berlebihan dalam perkara mubah, dengan alasan hukumnya mubah. Perkara-pekara mubah itu, seperti; terlalu banyak tidur, terlalu banyak makan, serta terlalu banyak olah raga tertentu. Perkara-perkara tersebut, bisa melalaikan seseorang dari perkara-perkara wajib, misalnya; shalat berjama’ah, membaca Al qur’an dan berdzikir pada Allah.
5.      Kekhawatiran tidak dapat istiqamah dengan sempurna. Salah satu pintu syetan, adalah membuat seorang hamba berprasangka terhadap dirinya. Disebabkan, prasangka dirinya tidak bisa istiqamah secara sempurna, seseorang akhirnya memilih tidak sitiqamah. Anggapan mereka, dari pada tidak bisa konsisten melaksanakan ajaran Islam, lebih baik sekalian tidak. Orang model seperti ini telah dirasuki syetan, sebelum berusaha menjalankan agama, dirinya memilih jalan tetap meninggalkan ajaran Islam. Akhirnya, hidayah kian jauh darinya, dirinya kian terjerembab dalam buaian syetan.
6.      Pekerjaan. Betapa banyak di antara kita, yang futur, tidak istiqamah akibat pekerjaan. Dulu, ketika masih di kampus, dirinya terkenal sebagai aktifis yang istiqamah menegakkan ajaran Islam dalam dirinya, mendakwahkan ajaran Islam di tengah-tengah kampus. Tapi, apalah daya, ketika pilihan pekerjaan, profesi yang menjadi obsesi dan orientasi utamanya, dirinya rela meninggalkan sebagian ajaran-ajaran Islam. Dirinya takut dipecat, dimutasi, atau kehilangan kedudukan, jika dirinya masih konsisten dengan ajaran Islam.
Sebenarnya masih ada beberapa penghalang istiqamah, keenam faktor tersebut sangat mempengaruhi tidak terlaksananya istiqomah, karrena itulah hal ini dapat menjadikan pelajaran dalam kehidupan, tetap waspada jika sifat-sifat tersebut, mulai menghampiri, atau merasuki pemikiran kita. Selain penghalang diatas Ada beberapa perkara juga yang menyebabkan seseorang menyeleweng dan keluar dari istiqamah, di antaranya:
1.       Hilangnya dasar-dasar keistiqamahan di tengah kaum muslimin dan terbukanya pintu-pintu penyelewengan yang berakibat mendekatnya penyeru-penyeru penyelewengan dari kalangan syaithan jin dan manusia.
2.      Meninggalkan pendidikan Islami bagi generasi muslim sejak dini dan menganggap perkara tersebut sebagai perkara kecil. Generasi penerus itu tidak diarahkan kepada sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat mereka.
3.      Memberikan kebebasan kepada anak-anak untuk mencari kesenangan hidup tanpa ada aturan syariat. Sehingga anak pun melakukan segala kerusakan selama dia bisa mendapatkan kesenangan, seperti permainan yang melalaikan, menonton film-film porno dan sinema yang penuh kedustaan, narkoba, dugem, pergaulan bebas, merokok, musik, dan lain-lain.
4.       Hilangnya perhatian para guru terhadap anak didiknya, sehingga mereka berbuat apa saja yang diinginkan, walaupun hal itu bertentangan dengan apa yang dikajinya. Hal ini mengakibatkan pada diri mereka muncul dua pendorong yang berbahaya. Pertama: Dorongan untuk terjerumus menjadi orang yang menyeleweng, dan Kedua: Menjadi orang yang bangkrut kehidupan dunia dan akhiratnya.
5.      Meninggalkan rumah-rumah Allah Subhanahu wata’ala(masjid) dan tidak memenuhi panggilan seruan da’i-Nya, karena melanglang buana dalam aktivitas yang tidak berguna untuk dunia, terlebih untuk akhirat. Inilah mayoritas perbuatan yang dilakukan di tengah muslimin, terlebih di kalangan para pemuda yang cenderung senantiasa melampiaskan nafsunya.
6.       Bertebarannya kemungkaran di tengah-tengah kaum muslimin dan terciptanya lingkungan yang jelek dan kotor. Semua ini sangat mungkin menjadi sebab terjadinya penyelewengan dan keluar dari istiqamah.
7.        Terlepasnya tali hubungan antara anak dan bapak yang shalih lagi bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga anak menempuh jalan-jalan kedurhakaan yang merupakan seruan Iblis dan tentara-tentaranya untuk menuntut keadilan dan kebebasan hidup dari orang tua yang shalih dan bertakwa tersebut.
Ini beberapa sebab terjadinya penyelewengan dan keluarnya seorang muslim dari jalur istiqamah. Keadaan ini membutuhkan jawaban (solusi) agar jangan sampai generasi Islam pada masa yang mendatang menjadi pengibar bendera kesesatan dan penyelewengan, menjadi generasi yang tidak berdaya di hadapan musuh-musuh Allah Subhanahu wata’ala, generasi yang egois, rusak moral, menjadi generasi yang rendah dan budak piaraan musuh-musuh mereka.
Karena itulah apabila penyakit-penyakit seperti ini tidak segera dihindari dan disingkirkan maka lambat laun hal itu bisa menggelincirkan diri kita dari jalan Islam, tidak istiqamah dengan ajaran Islam, yang sekian lama dipupuk dalam sanubari, dengan ibadah, serta amalan-amalan shaleh.
Istiqomah lebih baik dari seribu karomah
Rasulullah saw bersabda:
اَلْاِسْتِقَامَةُ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ كَرَمَة
Yang artinya: Istiqomah itu lebih baik dari seribu karomah.
Dari hadits Rasul ini betapa luar biasanya kekuatan istiqomah, betapa tidak, Allah berikan kepada orang yang istiqomah seribu karomah, satu karomah saja sudah dahsyat apalagi seribu karomah. Kita sering mendengar kata keramat yaitu karomah, sesuatu yang diberikan kepada para wali Allah. Begitulah kekuatan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang istiqomah.
Mari kita perhatikan bagaimana orang-orang yang istiqomah itu, dalam berbagai kitab banyak diceritakan tentang orang-orang yang istiqomah, sebagaimana diceritakan dalam kitab ’Uqudullujain’ yang ditulis oleh Muhammad Almu’tarif disana diceritakan  bahwa Ada seorang wanita yang memiliki seorang suami yang munafik dan wanita itu setiap melakukan segala sesuatu  dari ucapan maupun perbuatannya selalu dengan mengucapkan bismillah maka suaminya berkata sungguh aku telah berbuat sesuatu yang memalukannya, lalu dia memberikan sesuatu kotak yang berharga (benda antik) dan dia berkata kepadanya untuk menjaganya, kemudian istri tersebut meletakkan dan menyimpan benda tersebut di suatu tempat dan menutupinya agar tidak ketahuan oleh orang lain, tetapi karena dasar suami munafiq dia melalaikan terhadap apa yang ia katakan (ingkar) sebagaimana tanda-tanda orang munafiq adalah ingkar apabila berjanji, dusta apabila ia berkata, khiyanat apabila diberi amanah. Lalu ia malah mengambil benda yang disimpan tadi oleh istrinya tanpa sepengetahuan istri dan membuangnya ke dalam sumur yang ada di rumahnya. Kemudian suami munafiq itu mencarinya kotak tersebut. Maka istrinya datang ke tempat benda tersebut seperti kebiasaan yang ia lakukan membaca bismillahirrahmanirrahim disini pertolongan Allah turun sebelum dia sampai tempat benda itu maka Allah perintahkan malaikat Jibril AS untuk turun dengan segera dan mengembalikan benda tadi ke tempat semula. Subhanallah dengan izin Allah benda itu sudah kembali ketika akan diambilnya, padahal benda itu telah masuk ke dalam sumur yang sangat dalam tadi. Maka suami munafiq ini takjub dan terheran-heran. Dan akhirnya dari kejadian itu ia taubat dari kemunafikannya.
Maka dari itu bagi kita seyogyanya memiliki keistiqomahan Sebagaimana perkataan Al-Faqih Abu Laits beliau mengatakan: ”Berbahagialah orang yang diberi pengertian dan dibangunkan/sadar dari lupanya, mau dipimpin untuk berfikir tentang urusan patinya, mudah-mudahan Allah menghabisi umur kami dalam kebaikan, dan memperoleh kegembiraan sperti layaknya orang mukmin ketika mati
Dampak Positif Istiqomah
Dalam semua perbuatan pastilah mempunyai dampak atau pengaruhnya, ketika perbuatan itu baik maka akan berdampak  baik, begitu pula ketika perbuatan itu buruk, maka jangan salahkan jika dampaknya akan negative. Istiqomah yang telah tersebut dalam al-qur’an merupakan perbuatan yang baik tentunya dampak-dampak positive lah yang ditimbulkan dari sikap itu, oleh karenanya setiap manusia muslim yang beristiqomah dan yang selalu berkomitmen dengan nilai-nilai kebenaran Islam dalam seluruh aspek hidupnya akan merasakan dampaknya yang positif sepanjang hidupnya.
Adapun dampak positif istiqomah sebagai berikut;
1.Keberanian(Syaja’ah)
Muslim yang selalu istiqomah dalam hidupnya ia akan memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak akan gentar menghadapi segala rintangan dalam kehidupanya. Ia tidak akan pernah menjadi seorang pengecut dan pengkhianat dalam hutan belantara perjuangan. Selain itu juga berbeda dengan orang yang di dalam hatinya ada penyakit nifaq yang senantiasa menimbulkan kegamangan dalam melangkah dan kekuatiran serta ketakutan dalam menghadapi rintangan-rintangan.
Perhatikan firman Allah Taala dalam surat Al-Maidah ayat 52 di bawah ini;


artinya:
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”(Q.s al maidah ayat 52)
2.Ithmi’nan (ketenangan)
Keimanan seorang muslim yang telah sampai pada tangga kesempurnaan akan melahirkan tsabat dan istiqomah dalam medan perjuangan. Tsabat dan istiqomah sendiri akan melahirkan ketenangan, kedamaian dan kebahagian. Meskipun ia melalui rintangan yang panjang, melewati jalan terjal kehidupan dan menapak tilas lika-liku belantara hutan perjuangan. Karena ia yakin bahwa inilah jalan yang pernah ditempuh oleh hamba-hamba Allah yang agung yaitu para Nabi, Rasul, generasi terbaik setelahnya dan generasi yang bertekad membawa obor estafet dakwahnya.
 


Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi tenteram” (QS ar ra’d:28).
3.Tafa’ul (optimis)
KeIstiqâmahan yang dimiliki seorang muslim juga melahirkan sikap optimis. Ia jauh dari sikap pesimis dalam menjalani dan mengarungi lautan kehidupan. Ia senantiasa tidak pernah merasa lelah dan gelisah yang akhirnya melahirkan frustasi dalam menjalani kehidupannya. Keloyoan yang mencoba mengusik jiwa, kegalauan yang ingin mencabik jiwa mutmainnahnya dan kegelisahan yang menghantui benaknya akan terobati dengan keyakinannya kepada kehendak dan putusan-putusan ilahiah.
Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh beberapa ayat di bawah ini;

artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakandiri”(QSal hadid:22-23)

artinya:
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir" (QS yusuf: 87).


Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat" (QS al hijr :56).
Maka dengan tiga buah Istiqâmah ini, seorang muslim akan selalu mendapatkan kemenangan dan merasakan kebahagiaan, baik yang ada di dunia maupun yang dijanjikan nanti di akherat kelak. Perhatikan ayat di bawah ini;

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ
artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS fusshilat:30-32).
Joko wahyono dalam bukunya “sekolah kaya sekolah miskin” menyatakan bahwa dampak bagi orang yang melakukan istiqomah (konsiten) akan menjadi pribadi yang memiliki kepribadian yang berani, berjiwa tenang, dan bersikap optimis, seseorang yang istiqomah dalam melaksanakan kehidupannya maka ia akan memiliki keberanian yang luar biasa, ia tidak akan gentar menghadapi rintangan dalam hidupnya, ia pun tidak akan menjadi seorang pengecut dan penghianat dalam perjuangan, berbeda dengan orang yang mempunyai sikap takut dalam hatinya maka akan senantiasa menimbulkan keraguan dalam melangkah dan ketakutan serta ke khawatiran dalam menghadapi rintangan-rintangan.
Orang yang selalu istiqomah dalam menjalankan kebenaran atau tujuan yang diyakininya dan di inginkannya, maka hal itu akan menimbulkan ketenangan dalam hatinya, kedamaian dan kebahagiaan, meskipun ia melalui rintangan yang panjang, melewati jalan terjal kehidupan dan menapak tilas tingkah laku belantara hujan perjuangan, tetapi ia akan tetap yakin bahwa inilah jalan yang pernah di tempuh oleh orang-orang yang meraih kesuksessan dalam kehidupan.
Kiat-kiat istiqomah
Istiqomah adalah sebuah komitmen dalam menjalankan satu program untuk menuju satu tujuan. Istiqomah itu mengandung: 1) konsisten, sehingga secara terus menerus apa yang dianggap baik itu dijalankan, 2) tahan uji kepada godaan-godaan yang mungkin menjadi penghambat, menjadi halangan kita sampai pada tujuan yang cita-citakan. Dalam kaitan dengan fokus, hidup ini dianjurkan oleh agama kita untuk memiliki tujuan. Allah berfirman bahwa tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah pada-Nya. Itu tujuan hidup kita. Kemudian juga Allah mengingatkan bahwa kita diturunkan ke bumi sebagai umat yang terbaik.. Tapi apa syaratnya untuk menjadi ummat yang terbaik? Syaratnya adalah fokus kepada sesuatu yang menjadi cita-cita hidup kita karena hal itu yang akan menggerakkan seluruh hidup kita ke arah cita-cita tersebut. Kalau gak tahu apa yang dituju, pasti akan goyah. Dapat ujian sedikit sudah limbung.
Istiqomah itu menyertai keimanan. Iman naik dan turun, ujian datang dan pergi. Lalu bisa juga disebut bahwa istiqomah itu salah satu ciri keimanan kita teruji atau tidak. Ketika kita tidak istiqomah, bisa dikatakan memang bahwa keimanan kita tidak teruji dengan baik. Memang istiqomah menjadi suatu kondisi, suatu benteng untuk menunjukkan ketundukan kita kepada Allah. Indikator keberagamaan kita atau ketakwaan itu memang ada pada sikap istiqomah. Menjalankan sesuatu, sendirian atau ramai-ramai, diberi reward tidak diberi reward, sikapnya sama saja. Itulah sikap orang yang istiqomah, yang dibalut dengan perilaku ikhlas sebagai hamba.
Dalam suatu hadits diceritakan, sahabat Abdullah al-Tsaqafi meminta nasihat kepada Nabi Muhammad saw agar dengan nasihat itu, ia tidak perlu bertanya-tanya lagi soal agama kepada orang lain. Lalu, Rasulullah saw bersabda,
قًلْ اَمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
''Qul Amantu Billah Tsumma Istaqim'' (Katakanlah, aku beriman kepada Allah, dan lalu bersikaplah istiqamah!). (H.R. Muslim)
Hadits tersebut mengajarkan kita untuk senantiasa beriman kepada Allah swt serta menjalani semua perintah-Nya. Orang yang tidak memiliki sifat istiqomah sangatlah merugi karena akan sia-sia semua usaha dan perjuangannya.
Oleh karena itu kiranya akan kami tunjukkan kepada semua pembaca apa sajakah Kiat-kiat Mewujudkan Sikap Istiqomah, dan kiat-kiat itu antara lain;
  1. Mengikhlaskan niat semata-mata hanya mengharap Allah dan karena Allah swt. Ketika beramal, tiada yang hadir dalam jiwa dan pikiran kita selain hanya Allah dan Allah. Karena keikhlasan merupakan pijakan dasar dalam bertawakal kepada Allah. Tidak mungkin seseorang akan bertawakal, tanpa diiringi rasa ikhlas.
  2. Bertahap dalam beramal. Dalam artian, ketika menjalankan suatu ibadah, kita hendaknya memulai dari sesuatu yang kecil namun rutin. Bahkan sifat kerutinan ini jika dipandang perlu, harus bersifat sedikit dipaksakan. Sehingga akan terwujud sebuah amalan yang rutin meskipun sedikit. Kerutinan inilah yang insya Allah menjadi cikal bakalnya keistiqamahan. Seperti dalam bertilawah Al-Qur’an, dalam qiyamul lail dan lain sebagainya; hendaknya dimulai dari sedikit demi sedikit, kemudian ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.
  3. Diperlukan adanya kesabaran. Karena untuk melakukan suatu amalan yang bersifat kontinyu dan rutin, memang merupakan amalan yang berat. Karena kadangkala sebagai seorang insan, kita terkadang dihinggapi rasa giat dan kadang rasa malas. Oleh karenanya diperlukan kesabaran dalam menghilangkan rasa malas ini, guna menjalankan ibadah atau amalan yang akan diistiqamahi.
  4. Istiqamah tidak dapat direalisasikan melainkan dengan berpegang teguh terhadap ajaran Allah swt. Allah berfirman QS. Ali imran ayat 101 yang berbunyi:

Artinya:
”Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
  1. Istiqamah juga sangat terkait erat dengan tauhidullah. Oleh karenanya dalam beristiqamah seseorang benar-benar harus mentauhidkan Allah dari segala sesuatu apapun yang di muka bumi ini. Karena mustahil istiqamah direalisasikan, bila dibarengi dengan fenomena kemusyrikan, meskipun hanya fenomena yang sangat kecil dari kemusyrikan tersebut, seperti riya. Menghilangkan sifat riya’ dalam diri kita merupakan bentuk istiqamah dalam keikhlasan.
  2. Istiqamah juga akan dapat terealisasikan, jika kita memahami hikmah atau hakekat dari ibadah ataupun amalan yang kita lakukan tersebut. Sehingga ibadah tersebut terasa nikmat kita lakukan. Demikian juga sebaliknya, jika kita merasakan ‘kehampaan’ atau ‘kegersangan’ dari amalan yang kita lakukan, tentu hal ini menjadikan kita mudah jenuh dan meninggalkan ibadah tersebut.
  3. Istiqamah juga akan sangat terbantu dengan adanya amal jama’i. Karena dengan kebersamaan dalam beramal islami, akan lebih membantu dan mempermudah hal apapun yang akan kita lakukan. Jika kita salah, tentu ada yang menegur. Jika kita lalai, tentu yang lain ada yang mengingatkan. Berbeda dengan ketika kita seorang diri. Ditambah lagi, nuansa atau suasana beraktivitas secara bersama memberikan ‘sesuatu yang berbeda’ yang tidak akan kita rasakan ketika beramal seorang diri.
  4. Memperbanyak membaca dan mengupas mengenai keistiqamahan para Nabi, sahabat dan orang-orang shaleh dalam meniti jalan hidupnya, kendatipun berbagai cobaan dan ujian yang sangat berat menimpa mereka. Jusrtru mereka merasakan kenikmatan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan cobaan tersebut.
  5. Memperbanyak berdoa kepada Allah, agar kita semua dianugerahi sifat istiqamah. Karena kendatipun usaha kita, namun jika Allah tidak mengizinkannya, tentulah hal tersebut tidak bisa.
Selain itu, ada beberapa kiat-kiat yang dapat memperkuat keistiqomahan seseorang, tentu saja jika kita sudah mampu beristiqomah tentunya kita tidak menginginkan keistiqomahan kita pun akan hilang justru kita akan menginginkan sikap itu terus dan terus menguat dan meninggkat setiap harinya, oleh karena itu kita membutuhkan tekhnik atau beberapa beberapa yang bisa memperkuat sikap keistiqomahan tersebut, antara lain:
  1. Hendaklah kita merasa belum cukup dengan amal yang pernah dilakukan.
  2. Menutupi amal dengan amal yang lebih baik dari sebelumnya.
  3. Merasa sedikit kebaikannya sekaligus merasa terlalu banyak maksiatnya.
  4. Mengingat-ingat mati ( dzikrul maut )
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “perbanyaklah mengingat sesuatu yang bisa menghilangkan kenikmatan yaitu kematian” (HR.Turmudzi)
  1. Iri dengan amal shaleh orang lain sehingga berkeinginan menirunya.
  2. Malu dengan perjuangan para pendahulu, sementara kita belum berbuat apa-apa.
  3. Perbanyak waktu untuk sillaturrahim dan bersahabat dengan orang shaleh, karena teman bisa menjadi cermin bagi diri kita. Hal itu tercermin dalam firman allah.“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS. At-Taubah  ayat :115)
  1. meminta nasihat kepada orang yang kita yakini kebaikannya.
  2. membaca biografi orang-orang shaleh untuk diambil teladannya
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya” (QS. Az-Zumar ayat 53-55)
  1. berkumpul di majelis orang shaleh
  2. menyakini bahwa ujian yang menimpa kita, belum seberapa  dibanding yang pernah dialami para nabi, sahabat dan shidiqqin
  3. tidak terlena dengan urusan dunia sehingga melupakan akhirat. Ingat banyak orang yang istiqomah dalam kesahajaan, tetapi hancur karena kemewahan dunia.
  4. amal yang baik bukanlah pada banyaknya, tetapi pada dawam-nya (istiqomah), sedikit tapi terus menerus dilakukan.
  5. berdoa, doa merupakan senjata ampuh yang akan menguatkan dan meluruskan niat. Hal itu tercermin dalam beberapa firman Allah swt:
“(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." ( Q.S. Al- Imran ayat 8 )
“Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir".(Q.S. Al- Baqarah: 250 )
15.  Tadabur al-qur’an
Al-qur’an adalah sebuah kitab suci yang sangat sempurna, orang yang mampu istiqomah berinteraksi dengan Al Qu'ran tentunya akan merasakan Nikmat dan tentunya akan mendapat pahala yang banyak, bukan hanya itu orang yang mampu bertadabbur dengan Al-qur’an akan mendapatkan nikmat syafaat kelak di hari kiamat, Sebagaiman firman Allah:
“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus. (Q.S. Az- Zukhruf ayat: 43 )
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (Q.S. Al- Anfaal ayat :12 )
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Al- Huud 11:120 )
16.  Berhubungan dengan Allah Subhanahu Wata’ala secara baik (ma’rifatullah dan bermuroqobah )
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Q.S. Ibrahim 14:27 )
Berhubungan dengan Allah secara qalbu (meyakini dengan hati), dengan lisan ( terus berdzikir ) , dengan pikiran (mencari ilmu agar bisa berhubungan dengan baik).
Secara lebih gamblang muqorabah adalah keadaan seseorang hamba yang senantiasa mengetahui dan meyakini penguasaan allah terhadap lahir dan batinnya, umpamanya melanggengkan pengetahuan dan keyakinan inilah yang disebut muqorobah.
Jadi muqorabah adalah buah pengetahuan bahwa Allah mengawasinya, melihatnya dan mendengar ucapannya. Dzun nun berkata bahwa pertanda muqorobah adalah mengutamakan apa-apa yang diturunkan allah, menganggap besar terhadap apa yang dianggap besar olehnya dan menganggap kecil apa yang dianggap kecil olehnya. Sedangkan ibrahim al thawas berkata “muqorabah adalah kemurnian batin dan lahir karena allah”.
Oleh karena itu semestinya sesorang itu bermuqorobahsebelum beramal dan selama beramal, apakah hawa nafsunya yang mendorongnya untuk melakukannya ataukah hanya allah yang mendorongnya secara khusus, jika yang mendorongnya adalah allah dia melanjutkannya, jika tidak dia meninggalkannya, inilah yang dinamakan ikhlas.
Inilah muqorobah seorang hamba dalam ketaatan, yaitu ikhlas didalamnya, sedangkan muqorobah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, sesal dan berhenti dari melakukannya, adapun muqorobah dalam hal yang mubah adalah dengan memperhatikan adab didalamnya dan bersyukur atas berbagai nikmat. Sesungguhnya seseorang itu berda dalam salah satu dari dua hal yaitu nikmat yang mesti disyukurinya dan ujian yang mesti dia harus bersabar menghadapinya, itu semua termasuk dalam muqorobah.
Istiqamah memiliki beberapa keutamaan yang tidak dimiliki oleh sifat-sifat lain dalam Islam. Diantara keutamaan istiqamah adalah :
  1. Istiqamah merupakan jalan menuju ke surga.
Artinya:
 “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. fusshilat : 30)
  1. Berdasarkan ayat di atas, istiqamah merupakan satu bentuk sifat atau perbuatan yang dapat mendatangkan motivasi dan pertolongan Allah SWT.
  2. Istiqamah merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah swt. Dalam sebuah hadits digambarkan : Dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Berbuat sesuatu yang tepat dan benarlah kalian (maksudnya; istiqamahlah dalam amal dan berkatalah yang benar/jujur) dan mendekatlah kalian (mendekati amalan istiqamah dalam amal dan jujur dalam berkata). Dan ketahuilah, bahwa siapapun diantara kalian tidak akan bisa masuk surga dengan amalnya. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang langgeng (terus menerus) meskipun sedikit. (HR. Bukhari)
  3. Berdasarkan hadits di atas, kita juga diperintahkan untuk senantiasa beristiqamah. Ini artinya bahwa Istiqamah merupakan pengamalan dari sunnah Rasulullah saw.
  4. Istiqamah merupakan ciri mendasar orang mukmin. Dalam sebuah riwayat digambarkan: Dari Tsauban ra, Rasulullah saw. bersabda, ‘istiqamahlah kalian, dan janganlah kalian menghitung-hitung. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang dapat menjaga wudhu’ (HR. Ibnu Majah)
Ciri-ciri orang yang memiliki sifat istiqomah
  1. Konsisten dalam memegang teguh aqidah tauhid
  2. Konsisten dalam menjalankan ibadah baik mahdoh atau ghoiru mahdoh.
  3. Konsisten dalam menjalankan syariat agama, baik berupa perintah maupun larangan
  4. Konsisten dalam bekerja dan berkarya, dengan tulus dan ikhlas karena Allah swt.
  5. Konsisten dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan
Allah swt menjanjikan balasan yang besar kepada orang-orang yang istiqomah.
 
Artinya:
 “Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqomah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-Ahqaf:13-14). Dan semoga kita bisa istiqamah dalam segala hal. Amin.