MENDALAMI APA ITU ISTIQOMAH
Ketika membicarakan apa itu istiqomah, akan banyak sekali
interpretasi yang muncul berkaitan dengan maknanya. Satu kata ini memang
memiliki makna yang sangat dalam sehingga ketika ada seorang sahabat yang
bertanya kepada Rasulullah. “Ya Rasulullah, ajarilah aku tentang islam yang aku
tidak akan menyakan ini lagi kepadamu?”. Maka Rasul pun menjawab “Berislamlah,
berbuat baiklah lalu istiqomah”. Karena amalan yang paling disukai oleh Allah
bukanlah amalan yang besar semata. Tapi Allah akan menyukai amalan yang dijalankan
secara kontinyu meskipun hanya merupakan amalan yang nilainya kecil.
Merupakan
kebahagian tersendiri bagi orang tua apabila mempunyai putra-putri yang punya
karakter segera
menunaikan salat wajib begitu tiba waktunya, gelisah apabila menunda salat wajib,
gemar mengikuti salat berjamaah, merasakan ibadah sebagai kebutuhan bukan
beban, selalu melakukan thoharah dengan benar,menyesal bila melewatkan satu
hari tanpa membaca Al quran, menunaikan minimal satu macam salat sunah setiap
hari, selalu berdoa dan berdzikir sesuai dengan situasi yang melingkupi dan
menunaikan puasa Ramadan setiap tahun. Semua ini adalah bentuk istiqomah dalam
beribadah. Begitulah pentingnya sifat istiqomah karena
itulah sifat itu seharus dimiliki oleh setiap orang.
Pengertian istiqomah
Banyak sekali orang yang menyebut kata istiqomah,dan tidak jarang pula kita
mendengarkan kata itu, tapi hanya segelintir orang yang memahami apa sebenarnya
makna istiqomah, Istiqomah adalah sikap teguh pendiriannya
tidak mudah goyah pada keputusan yang telah ia tentukan atau pendiriaannya
tidak mudah berubah walaupun dipengaruhi oleh orang lain.
Dalam sebuah
hadisnya Nabi Muhammad SAW juga menyatakan bahwa apa yang harus
kita lakukan dalam menjalani kehidupannya ini
sederhana saja, yaitu beriman lalu istiqomah
(konsisten) dengan keimanan itu. Sebagaimana hadist nabi
yang berbunyi:
عَنْ ابي عَمْرَةَ سُفْيَانَ مِنْ
عَبْدِ اللهِ قاَلَ:قًلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ قٌلْ لِي فِي اْلاِسْلاَمِ قَوْلًا لَا
اَسْاَلُكَ عَنْهُ اَحَدًا غَيْرَكَ قَالَ: قُلْ اَمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
(رواه مسلم)
Artinya:
Dari abi amrah bin sufyan
ra, berkata: “ya rasullah ajarkan kepada aku tentang islam, sesuatu perkataan
yang aku tidak menanyakan lagi kepada seseorang selain engkau, nabi bersabda: ”Katakanlah, aku
beriman kepada Allah kemudian istiqomahlah!
Hadist ini
menjelaskan bahwa seseorang harus mempunyai sikap teguh berpegang terhadap
sesuatu yang diyakini kebenarannya, dan tidak akan mau merubahnya dalam keadaan
bagaimanapun, baik dalam keadaan susah ataupun senang, dalam keadaan sendiri
maupun dalam keadaan dengan orang lain.
Sikap istiqomah
akan mewarnai sikap seorang muslim, pendiriannya tidak mudah goyah, dan tidak
mudah berubah. Sikap diatas menyebabkan seseorang disegani dan dihormati orang
lain. Dengan cara istiqomah inilah kita akan mencapai kebahagiaan hidup baik
didunia maupun akhirat.
Hadis tersebut
sejalan dengan firman Allah SWT dalam QS.
Fushilat:30,
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللهُ ثُمَّ
اسْتَقمُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلئِكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا
وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِى كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ (٣٠)
Artinya:
Sesungguhnya
orang-orang yang berkata ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap lurus
(istiqomah) dalam
keimanannya, niscaya turun kepada mereka malaikat menyampaikan pesan kepada
mereka bahwa janganlah kalian takut dan bersedih, dan
bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian!.
Ayat diatas menjelaskan pula bahwa janji Allah yang tidak
mungkin dipungkiri adalah Mukmin yang Istiqomah atau konsisten
dengan keimanannya tidak perlu cemas dan sedih dalam menempuh kehidupan ini, serta bergembira karena surga menantinya di akhirat kelak.
Beriman kepada
Allah SWT artinya meyakini Dia sebagai Tuhan semesta alam, juga yakin akan
kebenaran keberadaan para malaikat-Nya, wahyu-Nya (kitab-kitab Allah), para
rasul-Nya, hari akhir, dan takdir Allah SWT bagi setiap manusia. Dan pembenaran atas semua itu harus diikuti dengan tindakan
nyata, sebagai suatu pengamalan dari keimanannya. Pengamalan
keimanan kepada Allah harus diikuti dengan pembenaran atas semua firman-Nya,
yang kini tertuang dalam Alquran, sekaligus mengamalkan apa yang
diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya. Seorang Mukmin harus
membuktikan keimanannya dengan memahami dan mengamalkan semua ajaran yang terkandung
dalam rukun iman dan rukun islam, minimal seorang yang mengaku dirinya sebagai
mukmin harus mengerjakan shalat lima waktu. Dalam sebuah hadis disebutkan, pembeda antara seorang
Mukmin dan kafir adalah shalat. Dari shalat, jika
dikerjakan dengan khusyuk, maka akan tercipta kondisi diri yang benar-benar
tunduk kepada Allah SWT.
Keimanan kepada para malaikat minimal dibuktikan dengan adanya kesadaran, bahwa di kiri-kanan kita selalu ada malaikat pencatat amal Rakib dan Atid. Kedua malaikat itu selalu mengawasi perilaku kita dan mencatatnya, untuk kemudian Allah SWT meminta pertanggung jawaban kita di akhirat kelak. Dengan adanya kesadaran tersebut, maka perilaku kita akan terkendali. Hanya akan mengarah kepada hal-hal yang diwajibkan dan diperbolehkan oleh agama (syariat) islam.
Keimanan kepada para malaikat minimal dibuktikan dengan adanya kesadaran, bahwa di kiri-kanan kita selalu ada malaikat pencatat amal Rakib dan Atid. Kedua malaikat itu selalu mengawasi perilaku kita dan mencatatnya, untuk kemudian Allah SWT meminta pertanggung jawaban kita di akhirat kelak. Dengan adanya kesadaran tersebut, maka perilaku kita akan terkendali. Hanya akan mengarah kepada hal-hal yang diwajibkan dan diperbolehkan oleh agama (syariat) islam.
Keimanan kepada
kitabullah, minimal dengan melakukan pembenaran kepada Alquran, yang diikuti dengan
pembacaan, penghayatan, dan pengamalan kandungan
isinya. Menjadikan Alquran sebagai pedoman hidup wajib hukumnya bagi setiap
mukmin. Alquran merupakan hudan (petunjuk) bagi orang-orang
yang bertakwa hal ini sudah dijelaskan dalam surat al-baqarah ayat 2, yang
berbunyi:
ذَلِكَ الْكِتبُ لَا رَيْبَ فِيْهِ هُدَى لِّلْمُتَّقِيْنَ
(٢)
Dalam berpikir dan bertindak dalam kehidupan
ini.
Keimanan kepada para utusan Allah (Rasulullah), minimal dibuktikan dengan membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad SAW dan nabi/rasul sebelumnya, diikuti dengan menjalankan apa yang disampaikan atau didakwahkannya. Perilaku Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya, merupakan sunnah, sebagai teladan sekaligus pedoman perilaku bagi kaum Mukmin.
Keimanan kepada para utusan Allah (Rasulullah), minimal dibuktikan dengan membenarkan kenabian dan kerasulan Muhammad SAW dan nabi/rasul sebelumnya, diikuti dengan menjalankan apa yang disampaikan atau didakwahkannya. Perilaku Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuannya, merupakan sunnah, sebagai teladan sekaligus pedoman perilaku bagi kaum Mukmin.
Keimanan kepada
hari akhir adalah yakin bahwa setelah kehidupan dunia ini ada alam kehidupan
yang kekal, yakni akhirat. Bahwa semua makhluk akan mati atau binasa, kemudian
manusia dibangkitkan kembali untuk menjalani "kehidupan kedua". Di
alam akhirat itulah manusia menjalani kehidupan sesungguhnya. Bahagia atau
celakanya, ditentukan oleh amal perbuatannya selama di dunia ini. Di alam
akhirat itulah pembalasan atas amal manusia dilakukan Allah. Firman-Nya dalam QS Al-Zalzalah:6-8
يَوْمَئِذٍ يَّصْدُرُ النّاَسُ اَشْتَتًا لِّيُرَوْ
اَعْملَهُمْ (٦) فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرً يَّرَهُ(٧)وَمَنْ يَّعْمَلْ
مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهُ (٨)
Artinya:
Pada
hari itu manusia akan pergi berpecah-pecah untuk diperlihatkan kepada mereka
akan kerja-kerja mereka. Barangsiapa yang beramal kebaikan seberat timbangan
atom, maka akan dilihatnya. Dan
barangsiapa yang beramal kejahatan seberat timbangan atom, maka akan dilihatnya
pula.
Adapun
keyakinan akan adanya akhirat harus dibuktikan dengan pengumpulan bekal kita
untuk kehidupan di sana. Yakni, berupa amal saleh. Beribadah
kepada Allah dan berbuat baik terhadap sesama
makhluk, sebagaimana diperintahkan-Nya. Hidup di dunia ini hanya sementara.
Pergunakan sebaik-baiknya, jangan sampai terlena oleh kenikmatan duniawi yang
melenakan, sehingga melupakan kita akan persiapan (amal saleh) untuk akhirat.
Artinya:
”Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (untuk kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi… (QS. Al qashah:77).
”Bukanlah orang yang paling baik darimu itu yang
meninggalkan dunianya karena akhiratnya, dan tidak pula yang meninggalkan
akhiratnya karena dunianya. Sebab, dunia itu penyampaian pada akhirat dan janganlah kamu menjadi
beban atas manusia(HR. Ibnu‘ Asakir dari Anas).
Sedangkan
beriman kepada takdir, yakni membenarkan adanya ketentuan Allah SWT. Yaitu,
ketentuan yang menentukan nasib atau keadaan kehidupan kita. Nasib atau keadaan
itu mengiringi amal yang kita kerjakan. Ibaratnya, orang rajin belajar tentu
akan pandai dan lulus ujian. Orang rajin bekerja
tentu akan mendapatkan kekayaan. Orang beribadah tentu mendapat pahala.
Sebaliknya, jika kita lalai beribadah, banyak berbuat
dosa, tentu ketentuan Allah berupa azab akan menimpa kita.
Demikian pula
jika kita menjalani kehidupan ini sesuai syariat Islam, tentu kebahagiaan hidup
dunia-akhirat akan mengiringi kita. Sebaliknya, jika kita mengabaikan syariat
Islam, apalagi melecehkannya, maka keterpurukan akan menimpa kita karena kita
menyimpang dari rel yang sudah ditetapkan. Jika kita rajin menjaga kondisi
tubuh, dengan olahraga misalnya, kesehatan jasmani kita tentu akan terpelihara.
Begitu seterusnya.
Uraian di atas
hakikatnya adalah sikap istiqomah dalam beriman kepada Allah. Istiqomah
adalah tetap, kukuh, dan kuat kepada keyakinan. Tetap
teguh menjalankan konsekuensi keimanan sebagaimana terurai di atas.Dalam terminologi iman sendiri terkandung makna istiqomah. Iman adalah mengucapkan dengan lisan (ikrarun
bil lisan), diiringi dengan pembenaran dalam
hati (tashdiqun
bil qalbi), dan dibuktikan dengan
tindakan nyata oleh seluruh anggota tubuh (‘amalun bil arkan). Iman yang hanya
dalam lisan saja, disebut nifak atau hipokrit.
Orang yang istiqomah dalam
keimanannya, akan dapat mengalahkan setiap godaan untuk berbuat maksiat, syirik,
nifak, atau mengabaikan syariat Islam. Hawa nafsu duniawi dan bujuk-rayu setan, termasuk godaan kekuasaan, akan
selalu mengintai kaum Mukmin agar mereka berpaling dari ajaran Allah yang
diimaninya.
Orang yang tidak istiqomah ialah mereka yang mudah goyah keimanannya. Hawa nafsu duniawi, mengejar kesenangan duniawi, menjadi pilihannya dengan mengabaikan keimanannya. Ini bukan berarti mengejar kesenangan duniawi dilarang, tetapi seyogianya orang beriman yang teguh dengan keimanannya akan mengejar kesenangan duniawi itu dengan tetap berpedoman kepada aturan Allah, berstandar halal-haram, dan madharat.
Orang yang tidak istiqomah ialah mereka yang mudah goyah keimanannya. Hawa nafsu duniawi, mengejar kesenangan duniawi, menjadi pilihannya dengan mengabaikan keimanannya. Ini bukan berarti mengejar kesenangan duniawi dilarang, tetapi seyogianya orang beriman yang teguh dengan keimanannya akan mengejar kesenangan duniawi itu dengan tetap berpedoman kepada aturan Allah, berstandar halal-haram, dan madharat.
Dalil-dalil tentang istiqomah
Dalam
menjalankan sesuatu sebagai umat islam maka kita harus menjalankan segala
sesuatu sesuai dengan syariat Allah dan sabda Rasulullah SAW oleh karena itu
dalam kita harus mengetahuai dali-dalil tentang istiqomah, dalam Alquran dan
Sunnah Rasulullah saw banyak sekali ayat dan hadits yang berkaitan dengan
masalah Istiqâmah diantaranya adalah;
Artinya:
“Maka tetaplah (Istiqâmahlah) kamu pada jalan
yang benar,sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang
telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”(QS.hud:112).
Ayat ini
mengisyaratkan kepada kita bahwa Rasulullah dan orang-orang yang bertaubat
bersamanya harus beristiqomah sebagaimana yang telah diperintahkan.
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang
mengatakan, “Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap Istiqâmah maka
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan
atas apa yang telah mereka kerjakan" (QS al- ahqaaf :13-14).
Ayat dan
hadits di atas menggambarkan urgensi Istiqâmah setelah beriman
dan pahala besar yang dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan dalam setiap kondisi atau situasi apapun.
dan pahala besar yang dijanjikan Allah SWT seperti hilangnya rasa takut, sirnanya kesedihan dan surga bagi hamba-hamba Allah yang senantiasa memperjuangkan nilai-nilai keimanan dalam setiap kondisi atau situasi apapun.
Hal ini juga
dikuatkan beberapa hadits nabi di bawah ini:
“Aku berkata,
“Wahai Rasulullah katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang aku tidak
akan bertanya kepada seorang pun selain engkau. Beliau bersabda, “Katakanlah,
“Aku beriman kepada Allah, kemudian berIstiqâmahlah (jangan menyimpang).” (HR
Muslim dari Sufyan bin Abdullah)
Kaidah-kaidah tentang
istiqomah
Sifat istiqomah akan menjadikan seorang muslim
meraih kebahagian baik ketika di dunia maupun di akhirat. Dengannya pula
seorang hamba akan meraih kemenangan dalam
bergulat dengan fitnah yang banyak sekali, bahkan istiqomah
mengakibatkan kesudahan yang baik dari segala urusanya.
Karena itulah manusia yang menginginkan untuk
memperoleh kebahagiaan yang di inginkan maka hendaknya memperhatikan masalah
keistiqomahanya dengan porsi perhatian yang besar baik dari sisi ilmu maupun
pengamalannya, dan setelah itu tetap
teguh denganya sampai ajal menjemput. Dengan menyandarkan diri
kepada Allah serta selalu meminta pertolongan darinya.
Dalam buku ini penulis akan mengajak para
pembaca untuk menelisik lebih dalam tentang sepuluh kaidah-kaidah yang agung dalam masalah istiqomah. Yang mana itu
semua merupakan kaidah-kaidah yang sangat penting yang diperlukan oleh setiap
orang muslim agar selalu menjaganya.
Kaidah pertama, Istiqomah adalah anugerah Ilahiyyah dan
hadiah Rabbaniyyah. Didalam ayat-ayat yang sangat banyak dari Kitabullah Allah sering
kali menyandarkan kepada dirinya Hidayah (petunjuk) kepada jalanNya yang
lurus. Bahwa setiap perkara semua ada ditangannya, yang mana Allah memberi
petunjuk kepada siapa yang di kehendakiNya dan menyesatkan siapa yang di
kehendakinya. Di tangan Allah lah hati-hati setiap hambanya, siapa yang di
kehendaki maka dia ditetapkan berada dijalannya dan siapa yang tidak di
kehendakinya maka dia di palingkan dari jalannya.
Istiqomah itu ada di tangan Allah,
siapa yang menginginkannya maka mintalah kepadaNya, dan bersungguh-sunguhlah di
dalam memintanya. Dan telah tsabit (tetap) di dalam Shahih Muslim dari
haditsnya Aisyah semoga Allah meridhoinya, bahwasannya dia pernah di tanya:
"Dengan suatu (bacaan) apakah Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam itu
memulai sholat malamnya? Maka Aisyah menjawab: "Jika Beliau bangun pada
malam hari maka beliau memulai bacaan sholat malamnya dengan membaca:
اللَّهُمَّ
رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ
عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا
كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ
بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ.
Yang artinya: "Ya Allah, Tuhan Jibrail, Mikail dan Israfil, pencipta langit
dan bumi. Wahai, Tuhan yang mengetahui perkara yang ghaib dan perkara yang
nampak. Engkau yang menghukumi di antara hamba-hambamu atas apa yang mereka
perselisihkan. Tunjukanlah aku kepada kebenaran apa yang menjadi perselihan
dengan seizinMu. Sesungguhnya Engkau Maha yang memberi petunjuk kepada siapa
yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus".
Dengan do'a inilah Rasulullah SAW membacanya
pada setiap malam ketika Beliau memulai sholat malamnya: "Sesungguhnya
Engkau Maha yang memberi petunjuk kepada siapa yang Engkau kehendaki kepada
jalan yang lurus".
Manakala inilah yang di cari yaitu
meminta hidayah kepada Allah yang merupakan hal
yang paling besar dan yang paling mulia untuk selalu dicari maka Allah
mewajibkan kepada para hambanya agar mereka
meminta hidayah serta petunjuk kepada jalannya
yang lurus, yang mana hal tersebut rutin berulang-ulang dalam sehari semalam,
semua itu ada di dalam surat al-Fatihah, Allah berfirman:
اِهْدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسْتَقِيمَ
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلۡمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ
وَلَا ٱلضَّآلِّينَ ( الفاتحة:
٦-٧)
Artinya:
"Tunjukilah Kami jalan yang
lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka;
bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat". QS al-Fatihah: ayat 6-7.
Sebagian ulama mengatakan:
"Hendaknya orang-orang awam memperhatikan do'a ini, ketika dia mengatakan:
"Tunjukilah Kami jalan yang lurus". Maka kamu sekarang sedang
menyeru kepada Allah dengan do'a yang Allah wajibkan atasmu sebanyak tujuh kali
dalam sehari semalam sebanyak bilangan raka'at dalam sholat wajib".
Oleh karena itu hendaknya seorang
muslim selalu menghadirkan dalam hatinya bahwa kalimat tersebut adalah suatu
do'a. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan: "Saya telah meneliti
do'a apa yang paling bermanfaat, maka saya temukan bahwa do'a tersebut adalah
meminta pertolongan diatas ridho Ilahi, kemudian saya melihat bahwa itu semua
ada di dalam surat al-Fatihah dalam sebuah ayat yang berbunyi:
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ) ٥(
Artinya:
"Hanya Engkaulah yang Kami
ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan". QS al-Fatihah:5.
Beliau melanjutkan:"Seorang
hamba diperintahkan untuk selalu membiasakan meminta kepada Allah jalan hidayah
kepada keistiqomahan".
Maka pada intinya kita selalu di
tuntut mulai dari diri kita sendiri agar senantiasa terbiasa dengan berdo'a,
berdo'a kepada Allah untuk mendapat hidayah agar selalu ditetapkan di dalam
istiqomah.
Kaidah kedua, Istiqomah yang hakiki adalah berpegang diatas metode atau cara yang
tegak dan berjalan di atas jalan yang lurus .
Kita bisa mengambil petunjuk untuk bisa
memahami istiqomah yang hakiki dengan meneliti dan memahami tentang istiqomah dari perkataan para sahabat dan tabi'in serta orang-orang yang mengikuti cara
mereka dengan baik di dalam menjelaskan makna istiqomah serta penjabarannya. Berikut
nukilan dari perkataannya mereka:
Telah berkata Abu Bakar semoga Allah
meridhoinya di dalam tafsir firman Allah Ta'ala:
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ
"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami
ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah.." QS al-Ahqaaf: 13.
Beliau mengatakan: "Mereka
adalah orang-orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun". Demikian pula di riwayatkan dari Ibnu Abbas semoga Allah
meridhoi keduanya ketika menafsirkan
makna ayat di atas, beliau mengatakan: "Mereka beristiqomah di atas
faraid (kewajiban-kewajiban) yang mereka kerjakan".
Sedangkan di riwayatkan dari Qatadah ketika
beliau menafsirkan firman Allah SWT "kemudian mereka tetap
istiqamah..". Beliau berkata: "Mereka istiqomah di atas ketaatan
kepada Allah.
Dalam kitab Jaami'ul ulum wal hikam. Dijelaskan
bahwa yang berkaitan tentang istiqomah tersebut dengan mengatakan:
"Istiqomah adalah menempuh jalan yang lurus, yaitu (jalan yang lurus
tersebut adalah) agama yang tegak lurus tanpa ada kebengkokan sedikitpun baik
ke kiri maupun ke kanan, yang mencakup
di dalamnya semua perbuatan taat baik yang dhohir (nampak) maupun yang
bathin (tersembunyi), dan meninggalkan seluruh larangan. Sehingga
menjadikan wasiat ini (untuk istiqomah) merupakan wasiat yang mencakup seluruh
dari cabang agama semuanya".
Makna-makna yang terkandung dari ucapan para
ulama tersebut tidaklah saling jauh berbeda satu sama lainnya, namun yang ada
adalah saling menafsirkan sebagian dengan sebagian yang lainnya, di karenakan
istiqomah termasuk dari kumpulan kalimat yang mengandung makna agama secara
keseluruhan.
Ibnu Qoyim menegaskan: "Istiqomah adalah
sebuah kalimat yang mencakup dan terambil dari semua cabang agama, yang mana
agama tersebut tegak di hadapan Allah di atas kejujuran yang sejati dan mau
memenuhi janji".
Kaidah ketiga, Asal dari istiqomah adalah istiqomahnya hati,
di riwayatkan oleh Imam Ahmad dari haditsnya Anas bin Malik semoga Allah
meridhoinya dari rasulullah bahwasannya beliau bersabda: "Tidaklah
mungkin keimanannya seorang hamba (bisa istiqomah) sampai hatinya beristiqomah".
HR Ahmad
Maka asal dari istiqomah adalah
istiqomahnya hati, dan hati jika baik dan dapat beristiqomah maka badan pun
dengan sendirinya akan mengikutinya. Dengan mengatakan bahwasannya kita tidak berpaling kepada yang lainnya.
Maka hati bisa istiqomah di atas ma'rifah (mengetahui) kepada Allah, takut
kepadanya, mengagungkannya, mencintainya, rasa raja' (berharap) kepadanya,
berdo'a kepadanya, bertawakal kepadanya serta berpaling dari selain Allah. Maka anggota badan akan bisa beristiqomah di atas ketaatan kepadanya.
Sesungguhnya hati adalah rajanya anggota badan sedangkan anggota badan adalah
pasukannya, maka jika rajanya berada di atas keistiqomahan maka pasukan serta
yang di pimpinnya akan menjadi beristiqomah".
Dalam shahihain (Bukhari dan Muslim) di
riwayatkan bahwa rasullah saw bersabda, "Sesungguhnya di dalam jasad
ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh anggota badan,
dan jika ia rusak maka rusak pula semua anggota
badannya, ketahuillah bahwa segumpal daging tersebut adalah hati".
HR Bukhari Muslim.
Hati bagi anggota badan seperti rajanya yang
berhak untuk mengatur pasukan yang
berada di bawah komandonya, menggunakan sesukanya, dan semuanya berada di bawah
kekuasaannya, keistiqomah atau ketergelinciran berada di bawahnya, maka semua
akan mengikuti apa yang menjadi keyakinannya dari keharaman sesuatu perkara
maupun kehalalannya. Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya di dalam jasad
ada segumpal daging, jika baik maka akan menjadi baik seluruh anggota badan,
dan jika ia rusak maka rusak pula semua anggota
badannya, ketahuillah bahwa segumpal daging tersebut adalah hati".
Hati adalah raja, hati pula yang memutuskan dalam perkara yang ingin di
perintahkan kepada anggota badan, yang berhadapan dengan apa yang di dapat dari
hidayahnya, yang mana tidak akan tegak dan bisa istiqomah sedikitpun dari
amalan-amalan yang muncul darinya kecuali yang sudah berada di dalam niatnya,
dan hati itu adalah penanggung jawab atas itu semua".
Oleh karena itu Allah berfirman:
يَوۡمَ لَا يَنفَعُ مَالٞ وَلَا بَنُونَ. إِلَّا
مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ )٨٩-٨٨(
Yang artinya: "(yaitu) di hari harta dan
anak-anak laki-laki tidak berguna. kecuali orang-orang yang menghadap Allah
dengan hati yang bersih". QS asy-Syua'araa: ayat 88-89.
Kaidah keempat, Istiqomah yang di tuntut dari seorang hamba
adalah berusaha untuk selalu berada pada sebuah keistiqomahan jika tidak mampu
maka dituntut untuk lebih mendekatinya
Seorang hamba di tuntut agar berusaha dengan
bersungguh-sungguh untuk sesuai dengan sunah, sesuai dengan petunjuk rasulullah
saw, metode dan perjalanan hidupnya. dan selalu berusaha untuk bisa mencapai
hal tersebut. Jika tidak
memungkinkan bagi dirinya untuk bertepatan dengan sunah secara sempurna maka
setidaknya bisa mendekatinya dan Allah Ta'ala telah berfirman:
فَٱسۡتَقِيمُوٓاْ إِلَيۡهِ وَٱسۡتَغۡفِرُوهُۗ )فصلت:
٦(
Artinya:"Maka tetaplah pada jalan yang Lurus menuju kepadanya dan
mohonlah ampun kepadaNya". QS
Fushilat: 6.
Allah menyebutkan dalam ayat di atas
agar meminta ampun kepadanya yang
sebelumnya di dahului perintah untuk beristiqomah, ini mengisyaratkan bahwa
seorang hamba bagaimanapun usahanya serta kesungguhan untuk selalu bisa tetap
di atas istiqomah tentu masih saja ada kekurangannya.
Oleh karena karena itu ayat ini mengisyaratkan
kepada bahwasannya ada saja kekurangan yang di dapati dalam masalah istiqomah
yang Allah perintahkan dalam ayat tersebut yang mana itu semua dapat tertutupi
dengan istighfar (minta ampun) yang mencakup taubat kepada Allah, dan
ini seperti yang disabdakan oleh rasulullah beliau bersadba: "Bertakwalah
kepada Allah di manapun kamu berada, dan ikutlah perbuatan buruk dengan
kebaikan niscaya ia akan menghapusnya".
Dalam hadits yang lain rasulullah menjelaskan bahwa manusia tidak
akan mungkin sanggup untuk bisa beristiqomah, sebenar-benar istiqomah adalah sebagaimana
dalam hadits, "Istiqomahlah kalian dan jangan menghitung-hitung,
beramallah kalian dan sebaik-baik amalan yang kalian lakukan adalah sholat. Tidak
ada yang menjaga wudhu kecuali seorang mu'min".
Dalam hadist lain rasulullah juga bersabda,
"Sesuaikanlah (amalan) kalian selalu dengan sunah dan (jika tidak
mungkin) maka dekatilah".
Maka sebenarnya sesuai dengan sunah adalah
istiqomah yang benar dan hakiki, yaitu mengena dalam sunah pada semua
perkataan, perbuatan, maksud serta keinginan-keinginannya seperti halnya orang
yang melempar sesuatu ke lubang lalu masuk tepat di lubangnya.
Namun dengan catatan hendaknya di
bangun di atas niat yang benar, mengenai sasaran. Dan hendaknya mendekat dengan
usaha yang tanpa mengenal lelah, karena seberapa usaha kita tetap saja kita
tidak akan sanggup untuk bisa sesuai dengan sunah dalam segala sisi. Sebagaimana hadist nabi, "Wahai manusia! Sesungguhnya kalian tidak akan mampu mengerjakan – atau tidak akan sanggup – (mengerjakan) semua yang saya perintahkan,
akan tetapi (berusahalah) untuk lebih mengenai (yang saya perintahkan) dan
berilah kabar gembira".
Adapun maknanya yaitu sedikit dalam
mengenai sunah dan tetap dalam keistiqomahan ketika mengerjakan sunah tersebut.
Karena sesungguhnya jikalau kalian selalu berusaha untuk sesuai dengan sunah
dalam setiap amalan maka seolah-olah kalian telah melakukan setiap perintah
tersebut".
Kaidah kelima, Istiqomah itu selalu terkait
dengan perkataan, perbuatan, dan niat. Istiqomah
yang di tuntut dari seorang muslim adalah istiqomah dalam perkataan, perbuatan
dan dalam setiap keinginan dan kemauananya. Dengan artian lain bahwa
perkataannya seorang muslim, demikian pula amal perbuatan dan juga hatinya
hendaknya seluruhnya di kerjakan di atas keistiqomahan.
Rasulullah saw sendiri bersabda, "Tidak
akan bisa lurus (istiqomah.pent) imannya seorang hamba sampai hatinya lurus,
dan tidak akan bisa lurus hatinya seorang hamba sampai lisannya lurus".
Karena itu lah perhatian yang terbesar yang
harus di perhatikan oleh seorang muslim dalam masalah istiqomah setelah hati
dan amalan badannya adalah lisan, sesungguhnya lisan adalah penerjemah dan
pengungkap apa yang ada dalam hatinya.
Yang perlu di beri perhatian di sini adalah
bagaimana bahayanya hati dan lisan bagi seorang hamba di dalam masalah
istiqomah bahkan bisa di katakana keduanya adalah seperti sayap bagi istiqomah.
sebagian ulama juga mengatakan bahwa: "Seseorang itu berada dalam besar
dan kecilnya apa yang ada dalam hati dan yang di keluarkan oleh lisannya".
Maka hati dan lisan keduanya adalah
segumpal daging yang sangat kecil namun seluruh anggota badan seseorang itu
mengikuti apa yang dalam kata hati dan ucapan lisan. Oleh karena itu jika hati
seseorang itu bisa istiqomah demikian pula lisannya maka anggota badan tentu akan mengikutinya dalam
beristiqomah.
Jika hati seseorang sudah istiqomah maka
amalan anggota badan pun akan ikut serta di dalamnya, begitu juga lisan jika ia
istiqomah maka anggota badan pun ikut serta di dalam istiqomah. Karena lisan adalah penerjemah apa yang ada di dalam hati seseorang
bahkan dia adalah pemimpin bagi amalan dhohir.
Apabila hati kita telah memerintahkan kepada lisan
untuk mengucapkan sesuatu maka lisan pun patuh mengucapkan apa yang menjadi
kemauan hati, karena pada hakekatnya lisan adalah pengekor hati sedangkan amal
perbuatan maka mereka mengikuti kemauan serta tunduk patuh kepada hati dan
lisannya.
Oleh karenanya menjadi suatu kewajiban bagi
setiap muslim untuk selalu memperhatikan hatinya dan selalu berusaha untuk
memperbaikinya, dengan memohon kepada Allah supaya di luruskan hatinya dan di
jauhkan dari segala macam penyakit hati
dari iri, dengki, hasad dan lainnya. Sehingga
pada akhirnya akan melahirkan ucapan dan perkataan yang baik sambil di iringi
dengan amalan-amalan sholeh.
Kaidah keenam, Tidak ada istiqomah kecuali hanya untuk Allah, bersama Allah dan
berjalan di atas perintah Allah. Ada beberapa makna untuk memahami maksud dari kaidah ini
pertama maksudnya yaitu, hanya untuk Allah, maknanya adalah
ikhlas karena Allah dengan makna lain seorang hamba beristiqomah dan berpegang
dengan kuat untuk selalu berjalan di
atas jalan yang lurus. Ikhlas dengan istiqomahnya karena Allah, mengharap
pahala yang ada di sisinya dan mengharap keridhoinya, yang mana Allah telah berfirman:
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ
ٱلدِّينَ )البينة: ٥ (
Yang artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus". (QS
al-Bayyinah: 5)
Kedua: Bersama Allah, maknanya selalu meminta pertolongan dari Allah
dalam mencari istiqomah, dalam beristiqomah dan agar bisa teguh di atas
keistiqomahannya. Allah berfirman:
فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا
تَعۡمَلُونَ )هود: ١٢٣(
Yang artinya:"Maka sembahlah Dia, dan
bertawakkallah kepada-Nya. dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang
kamu kerjakan". QS
Huud: 123.
Dalam ayat yang lain Allah juga berfirman:
إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ )الفاتحة: ٥(
"Hanya Engkaulah yang Kami ibadahi, dan hanya kepada Engkaulah
Kami meminta pertolongan". QS al-Fatihah: 5.
Hal ini diperkuat di
dalam sebuah hadits yang shahih di sebutkan: "Bersemangatlah untuk
mendapat yang bermanfaat bagi dirirmu dan minta pertolonganlah (untuk itu)
kepada Allah".
Ketiga: Berjalan di atas perintah Allah maknanya adalah hendaknya dalam
beristiqomah dia menempuh manhaj (metode) yang benar, yaitu jalan yang lurus
yang telah Allah perintahkan kepada hambaNya, sebagaimana hal itu termaktub
dalam firmanNya:
فَٱسۡتَقِمۡ كَمَآ أُمِرۡتَ )هود:١١٢ (
"Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana
diperintahkan kepadamu..". QS
Huud: 112.
Kaidah ke tujuh,
Bagi seorang muslim walupun sudah dapat beristiqomah namun jangan sampai
bersandar kepada amalannya.
Sebesar apapun dan sebaik apapun istiqomah
yang telah di miliki oleh seorang muslim maka jangan sampai dia menyandarkan
pada amalanya serta tertipu dengan ibadahnya, tidak pula dengan banyaknya
dzikir yang keluar dari bibirnya, serta ketaatan-ketaatan yang lainnya.
Dalam hal ini Imam Ibnu Qoyyim menegaskan,
"Yang di tuntut dari seorang hamba dalam masalah istiqomah adalah
mendekatinya (walaupun tidak bisa) seratus persen untuk bertepatan dengan
istiqomah dalam segala sisi, maka jika tidak mampu untuk istiqomah setidaknya
dia bisa lebih mendekati istiqomah. Sehingga jika itu juga sudah tidak mampu
lagi maka yang ada adalah tafrith (kurang) dan idho'ah (menyia-nyiakan),
hal itu sebagaimana hadits yang di riwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
haditsnya Aisyah ra. beliau bersabda, "Berusahalah agar (sesuai dengan)
sunah, mendekatlah jika (tidak mampu
mengerjakan seluruhnya) dan berilah kabar gembira (pada orang lain),
sesungguhnya tidak ada seorangpun yang akan masuk surga dengan sebab amalannya".
Maka di katakan kepada Rasulallah:
"Tidak pula engkau wahai Rasulallah? Beliau menjawab, "Tidak pula
saya, kecuali bahwa Allah telah mengampuni saya dengan ampunanNya dan rahmatNya".
Dalam hadits yang mulia ini telah terkumpul
dan tercakup di dalamnya kedudukan agama secara sempurna, di dalamnya ada
perintah agar beristiqomah yaitu berusaha (untuk selalu sesuai dengan sunah)
dan berusaha agar amalannya baik itu niat maupun perkataan serta amalan
perbuatannya tepat dan sesuai dengan sunah, hal ini diperkuat lahi dengan hadist
nabi: "Istiqomahlah kalian dan
janganlah menghitung-hitung (amalan kalian), dan beramallah sesungguhnya amalan
yang paling baik yang kalian kerjakan adalah sholat". Dalam hadits di
atas dijelaskan bahwa mereka tidak akan sanggup untuk beristiqomah secara
sempurna sehingga ketika keadaannya sudah demikian maka di anjurkan supaya
mereka lebih mendekati dalam beristiqomah yaitu berusaha agar dia bisa
beristiqomah sesuai dengan kadar kemampuannya.
Seperti halnya orang yang sedang melempar
sesuatu kesebuah lubang (sasaran) jika dia tidak bisa memasukan tepat
kelubangnya maka lebih dekat dengan sasaran itu lebih baik baginya. Namun
dengan ini semua Nabi mengkhabarkan bahwa walaupun mereka sudah berusaha untuk
selalu istiqomah dan ketika tidak sanggup mereka berusaha untuk lebih dekat
dengan istiqomah namun semua itu tidak bisa menyelamatan mereka pada hari
kiamat. Oleh karena itu jangan sampai
ada seseorangpun yang bersandar dengan amalannya merasa bangga dengan
amal perbuatannya, jangan berfikir bahwa dia akan selamat dengan sebab
amalannya namun dia akan selamat dengan sebab rahmat Allah, ampunannya dan
keutamaannya".
Kaidah ke delapan, Buah dari istiqomah di dunia adalah bisa istiqomah ketika meniti shirot
(jalan) pada hari kiamat nanti.
Siapa yang telah di beri hidayah (petunjuk)
untuk meniti shirothol mustaqim (jalan yang lurus) yaitu jalannya Allah di
dunia ini maka dia akan di beri hidayah di kampung akhirat nanti ketika sedang
menyebrangi shirot yang di bawahnya adalah neraka jahanam. Maka pada hari kiamat seseorang akan berjalan melewati shiroth yang
telah di bentangkan di atas neraka jahanam yang mana dia lebih tajam dari pada
mata pedang dan lebih lembut dari pada rambut.
Setiap manusia di perintahkan untuk melewati
shiroth (titian) ini, namun pada akhirnya setiap orang saling berbeda-beda di
dalam cara melewatinya sesuai dengan kadar amal perbuatannya ketika masih di
dunia, demikian pula sesuai dengan keistiqomahanya dalam menempuh shirothol
mustaqim pada kehidupannya di dunia.
Imam Ibnu Qoyyim mengatakan, "Barangsiapa
yang telah diberi hidayah (petunjuk) di dunia ini kepada shirothol mustaqim
(jalan yang lurus) oleh Allah Azza wa jalla yang mana Allah Ta'ala telah mengutus para rasulnya
dengannya dan menurunkan bersama mereka
kitab-kitabnya, dengan sebab itu dia akan diberi hidayah ketika meniti shiroth
yang akan mengantarkan kepada surgaNya dan negeri balasan. Namun ketetapan
seorang hamba di atas shiroth ini yang mana di bentangkan oleh Allah di dunia
akan menjadikan tetapnya dia ketika melewati shiroth yang berada di atas neraka jahanam di akhirat nanti sesuai dengan
kadar amalannya, dan seberapa besar ia
didalam (menempuh) pada jalan yang lurus ini (ketika didunia) maka begitu pula
kadarnya ketika melewati shiroth di akhirat nanti sehingga di antara mereka ada
yang melewatinya secepat kilat, di antara mereka ada yang melewatinya seperti
kedipan mata, di antara mereka ada yang melewatinya secepat angin, ada yang
seperti orang yang naik kendaraan, ada yang seperti orang yang berlari, ada
yang seperti orang yang berjalan kaki,
dan ada di antara mereka yang merangkak, ada yang tersambar oleh api
neraka dan ada yang terjatuh kedalamnya, maka seorang hamba dalam melewati
shiroth sesuai kadar ia di dalam menjalani shirotol mustaqim sebagai balasan
yang setimpal, Allah Ta'ala berfirman:
هَلۡ تُجۡزَوۡنَ إِلَّا مَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ )النمل: ٩٠(
Artinya: "Tiadalah kamu dibalasi, melainkan (setimpal) dengan apa yang
dahulu kamu kerjakan". QS
an-Naml: 90.
Perhatikan serta berhati-hatilah
terhadap syubhat (kerancuan.) dan syahwat (hafa nafsu) yang akan memalingkan
dari jalan yang lurus ini, maka sesungguhnya shiroth adalah (seperti) besi
bengkok yang akan menjauhkan dari shiroth tersebut kemudian ia tersambar oleh
api neraka, dan terhalangi untuk melewatinya, walaupun demikian Allah
berfirman:
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّٰمٖ لِّلۡعَبِيدِ )فصلت: ٤٦ (
Artinya: "Dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu Menganiaya
hamba-hambaNya". QS
Fushilat: 46.
Dalam kesempatan yang lain beliau
menegaskan:
"Barangsiapa yang dalam kehidupan di dunia ini telah tersambar fitnah
syubhat serta syahwat (sehingga) berpaling dari jalan yang lurus, maka dia akan
tersambar oleh jilatan api mana kala melewati shiroth pada hari kiamat nanti
seperti halnya dia tersambar oleh (fitnah) syubhat dan syahwat didunia, dan
pada tempatnya ada pembahasan yang lain".
Kaidah ke sembilan,
Pencegah untuk istiqomah adalah syubhat yang menyesatkan dan syahwat yang
melalaikan
Segala macam bentuk syubhat (kerancuan)
dan syahwat (hawa nafsu) maka keduanya adalah pencegah serta pemutus
yang dapat menghadang seseorang untuk selalu bisa istiqomah. Seorang yang
sedang berjalan menempuh jalan yang lurus, yang mana di dalam perjalanannya
tersebut (tanpa sadar) dia terus menerus (terjatuh) di dalam fitnah syubhat dan
syahwat yang memalingkannya dari jalan yang lurus (maka dirinya akan
terpalingkan) jauh dari jalan yang lurus
.
Maka setiap orang yang telah melenceng dari
istiqomah (dan dari jalan yang lurus), itu semua tidak bisa terlepas dari dua
perkara ini, baik itu di sebabkan oleh fitnah syahwat maupun fitnah syubhat. Dengan syahwat dia akan merusak amalan yang telah di kerjakan,
sedangkan dengan sebab fitnah syubhat maka dia akan merusak ilmunya.
Allah swt berfirman:
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَٰطِي مُسۡتَقِيمٗا فَٱتَّبِعُوهُۖ وَلَا
تَتَّبِعُواْ ٱلسُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمۡ عَن سَبِيلِهِۦۚ )الأنعام: ١٥٣(
Yang artinya: "Dan bahwa (yang Kami
perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalanNya". QS al-An'am: 153.
Telah tetap di dalam sebuah hadits Ibnu Mas'ud
mengatakan: "Rasulullah pernah menggaris (di hadapan) kami sebuah garis
yang lurus, kemudian Rasulullah mengatakan: "Ini adalah jalannya
Allah", lalu beliau menggaris garis-garis (yang lain) di samping kiri dan
kanannya. Kemudian
mengatakan: "Ini adalah jalan-jalan yang pada setiap jalan tersebut ada
setan yang mengajak kepadanya", beliau lalu membaca firman Allah surat al-an’am ayat 153
Oleh karena itu setan yang mengajak manusia
untuk berpaling dari jalan Allah yang lurus, maka ajakannya tersebut tidak
lepas dari syubhat (kerancuan dan kesamaran)
yang telah di tebarkan oleh setan serta syahwat yang melalaikan.
Maka jika setan melihat ada seseorang yang
sedang dalam keadaan lalai (melampaui batas) maka setan jadikan dirinya cinta
dengan hawa nafsu yang ada, namun jika setan mengetahui bahwa dirinya dalam
kondisi yang sehat, semangat serta
selalu menjaga keistiqomahannya maka dirinya dijerumuskan kedalam keraguan
serta kesamaran di dalam beragamanya. Sebagaimana yang di katakan oleh sebagian
ulama salaf: "Tidaklah Allah memerintahkan kepada hambaNya sebuah perintah
kecuali ada dua cara bagi setan untuk menggoda bani adam, adakalanya (supaya)
mereka melalaikan serta meremehkan (pada perintah tersebut), dan adakalanya
diantarkan mereka sampai (batas) yang tidak wajar sehingga mereka ghuluw
(berlebih-lebihan.pent). maka dengan dua hal inilah setan menghasut anak cucu
Adam dan setan tidak peduli dengan mana dari keduanya ia tancapkan kuku-kukunya
kepada anak cucu Adam".
Imam Ibnu Qoyyim mengatakan: "Sungguh
kebanyakan manusia, mereka tidak sanggup untuk bisa melewati dua lembah ini
(dua perkara ini.pent) kecuali sedikit sekali diantara mereka yang bisa
selamat. Lembah yang
pertama yaitu lembah (bersikap) meremehkan dan yang kedua yaitu lembah
(bersikap) berlebih-lebihan serta melampaui batas. Dan sangat sedikit sekali di
antara mereka yang bisa tetap teguh di atas jalan yang lurus (yaitu jalan)
sebagaimana yang telah di tempuh oleh Rasulallah dan para sahabatnya".
Di sini saya akan nukilkan sebuah
contoh yang sangat agung serta besar faidahnya, bahkan contoh ini merupakan
sebuah pelajaran yang sangat berfaidah bagi kita semua. Sebagaimana telah
shahih di dalam Musnad Imam Ahmad dan dalam Sunan Imam Tirmidzi dan selain
keduanya yang di riwayatkan dari Nawaas bin Sam'an semoga Allah meridhoinya
dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Allah
Ta'ala telah memberi sebuah permisalan bagi jalanNya yang lurus, maka pada
samping kiri dan kanannya ada dua tembok (yang) masing-masing memiliki pintu
yang terbuka (hanya) tertutupi oleh
penutup maka di depan pintu shiroth (jalannya Allah yang lurus) ada penyerunya
sambil mengatakan: "Wahai sekalian manusia masuklah kalian semua
kejalannya Allah yang lurus jangan berbelok-belok". Dan ada pula yang
menyeru di atas shiroth yang mana kala manusia akan mencoba untuk membuka (dua
pintu) yang ada di kanan dan kirinya (shiroth) maka di seru kepadanya:
"Celakalah kamu, jangan coba (untuk) sekali-kali membukanya! Sesungguhnya
jika kamu membukanya maka kamu akan masuk kedalamnya". Maka (perumpamaan)
shiroth adalah Islam sedangkan suuroon (dua tembok.pent) adalah
batasan-batasannya Allah sedangkan pintu-pintu yang terbuka adalah
larangan-larangannya Allah. (Adapun) penyeru yang berada di depan shirot adalah
kitabullah sedangkan penyeru yang berada di atas shiroth adalah perasaan (yang
akan mencegah) dalam hati setiap muslim".
Perhatikanlah perumpamaan di atas niscaya
Allah akan memberi manfaat kepadamu, Allah telah memberi sebuah permisalan akan
jalanNya yang lurus, yang mana pada kiri kanannya terdapat suuraan (dua
tembok), yang kalau di gambarkan maka engkau sedang berjalan di sebuah jalan
yang lurus sedangkan disisi kananmu ada tembok demikian pula di sisi kirimu pun
ada tembok, dan pada tembok teersebut ada pintu-pintu yang sangat banyak yang
engkau lewati di sisi kiri dan kananmu. Ada pun pintu-pintu ini hanya tertutupi
tirai (yang mudah sekali untuk disingkap), sebagaimana kamu ketahui bahwa pintu
kalau hanya tertutupi oleh tirai tidak seperti pintu yang memiliki daun pintu,
pintu itu sangat mudah sekali bagi dirimu untuk memasukinya dan tidak ada yang
menghalanginya sama sekali. Seorang muslim yang jujur dan istiqomah jika
dirinya menginginkan untuk masuk pada pintu syahwat maka akan ia dapati bahwa
hatinya akan menolak serta berontak, tidak merasa tenang dan tentram, maka
inilah teguran dari Allah yang ada pada hati setiap muslim.
Dan yang menjadi penguat dalam hadits di atas
adalah bahwasannya pada sisi kiri dan kanan jalan istiqomah tersebut ada
pintu-pintu yang akan mengeluarkan seorang manusia dari jalan istiqomah, dan
pintu-pintu tersebut semuanya kembali pada dua perkara, mungkin ke syubhat
(kesamaran dan keraguan) dan yang kedua adalah ke hawa nafsu.
Imam Ibnu Qoyyim berkata, "Allah telah
membentangkan jembatan yang akan di lewati oleh setiap orang menuju syurga, dan
diciptakannya api yang menjulur-julur yang akan menyambar setiap orang sesuai
dengan amalanya ketika di dunia, demikian juga api kebatilan yang
menjulur-julur dari syubhat serta kesesatan, adapun syahwat (hawa nafsu) yang
melalaikan pelakunya akan mencegah orang yang melakukannya dari istiqomah dan
dari jalan kebenaran serta ketika menempuh di jalan kebenaran, dan orang yang
di jaga maka dialah yang telah di jaga dan di selamatkan oleh Allah ".
Dan seorang hamba pada keadaan seperti ini
(masalah istiqomah) membutuhkan dua hidayah agar bisa selamat di dalam perjalanannya
yaitu hidayah kepada jalan yang lurus serta hidayah ketika menempuh di jalan
yang lurus tersebut.
Imam Ibnu Qoyyim menegaskan hal ini dengan
mengatakan, "Maka (meminta) hidayah menuju shirothol mustaqim (jalan yang
lurus) adalah perkara yang lain sedangkan hidayah di dalam menempuh jalan yang
lurus tersebut adalah sesuatu yang lain, tidaklah kamu ketahui bahwa seseorang
yang telah mengetahui bahwa ada jalan fulan pada sebuah kota adalah jalan yang
sifatnya begini dan begitu, akan tetapi tidak mungkin bisa melewati dengan
benar pada jalan tersebut, karena ketika ingin berjalan melewatinya membutuhkan
petunjuk khusus pada jalan tersebut, seperti harus berjalan pada waktu tertentu
yang tidak bisa di lewati pada waktu tertentu, membawa air sesuai dengan ukuran
perjalanan yang akan di tempuh, berhenti pada tempat tertentu, ini hanyalah
permisalan tentang petunjuk yang dibutuhkan pada sebuah perjalanan yang
terkadang dilupakan oleh orang bahkan oleh orang yang paham akan jalan tersebut
sehingga dia binasa tidak sampai pada tujuan".
Kaidah ke sepuluh, Tasyabbuh
(menyerupai) dengan orang-orang kafir termasuk perkara terbesar yang bisa
memalingkan dari istiqomah
Adapun tasyabuh dengan orang-orang kafir
kembali pada dua perkara yang di sebabkan oleh kerusakan adakalanya karena
ilmunya yang tidak benar atau adakalanya karena amalannya yang tidak sesuai dan
semua itu disebabkana oleh kerusakan.
Maka perhatikan makna kalimat ini
yang terkandung dalam firman Allah Ta'ala:
ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ
صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ
وَلَا ٱلضَّآلِّينَ )٧-٦(
Artinya: "Tunjukilah Kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang
yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai
(yahudi) dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat (nashrani). QS al-Fatihah: 6-7.
Maka kerusakan serta penyelewengan
kaum yahudi adalah di karenakan rusaknya di dalam mengamalkan agamanya, karena
mereka berilmu namun tidak mau mengamalkan ilmunya. Sedangkan kerusakan yang
timbul di antara nashrani adalah di karenakan rusaknya ilmu mereka, mereka
beramal tanpa disertai dengan ilmu yang mumpuni.
Sedangkan kerusakan yang timbul dalam
pembahasan kita adalah adakalanya (tidak bisa terlepas) mungkin di karenakan
menyerupai yahudi di mana seseorang memiliki ilmu namun tidak mau
mengamalkannya, atau kemungkinan yang kedua adalah menyerupai nashrani yang
mana mereka beramal namun tidak di sertai dengan ilmu dan dalil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah telah menamakan
mereka di dalam bukunya yang berjudul "Iqtidho shirothol mustaqim
mukholifata ashabal jahim" dan telah mengisyaratkan dalam bukunya
tersebut beberapa perkara yang berkaitan dengan kebiasaan ahlu kitab (yahudi
dan nashrani) yang sudah mempengaruhi umat ini. Sedangkan bagi seorang muslim
maka hendaknya dia berpaling jauh-jauh dari tasyabuh dengan orang-orang kafir
agar tidak melenceng dari jalan yang lurus sehingga ketika melenceng darinya
dia akan berjalan di atas jalan yang dimurkai oleh Allah atau jalan yang sesat.
Sebagaimana telah tergambar dalam
firman Allah Ta'ala:
وَدَّ كَثِيرٞ مِّنۡ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِ لَوۡ يَرُدُّونَكُم مِّنۢ
بَعۡدِ إِيمَٰنِكُمۡ كُفَّارًا حَسَدٗا مِّنۡ عِندِ أَنفُسِهِم مِّنۢ بَعۡدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمُ ٱلۡحَقُّۖ )البقرة: ١٠٩(
"Sebahagian besar ahli kitab menginginkan
agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman,
karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran". (QS al-Baqarah: 109).
Beliau syaikhul Islam mengatakan: "Maka
yahudi dicela di karenakan hasadnya mereka kepada orang-orang yang beriman yang
berada di atas petunjuk dan ilmu yang bermanfaat, namun sangat di sayangkan ada
sebagian orang yang telah menasabkan dirinya kepada ilmu atau yang lainnya
telah terfitnah dengan penyakit hasad ini yang mana pada kenyataannya orang
tersebut telah Allah beri petunjuk mereka dengan ilmu yang bermanfaat dan
amalan yang shaleh. Maka merekalah
orang-orang yang tercela dengan penuh kepastian, dan ini dalam permasalahan ini
termasuk dalam akhlak yang di murkai oleh Allah".
Kemudian beliau menyebutkan di dalam
kitabnya tersebut beberapa contoh dari kebiasaan yang termasuk kebiasaan
orang-orang yahudi maupun nashrani yang ditiru oleh banyak kaum muslimin, dan
Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam telah mengkhabarkan akan hal
itu dalam sabdanya: "Sungguh akan ada orang-orang yang akan mengikuti
sunah (perjalanan, kebiasaan) orang-orang sebelum mereka, sejengkal demi
sejengkal, sedepa demi sedepa, sampai-sampai kiranya mereka masuk ke lubang
biawak sekalipun pasti akan ada yang
mengikuti mereka".
Macam-macam dan Bentuk-bentuk istiqomah
Para ulama’ membagi istiqomah kedalam lima
macam antara lain:
Pertama :
istiqomah lidah atau lisan, yaitu tetap ingat (dzikir) kepada allah dengan
mengucap syukur atas segala nikmatnya.
Kedua :
istiqomah badan, yaitu membiasakan diri kita menaati segala perintah Allah,
memiliki perasaan malu kepada allah dan kepada manusia.
Ketiga :
istiqomah hati, artinya senantiasa takut kepada allah, tidak berputus asa, baik
pada waktu sehat maupun pada waktu sakit, dan berbaik sangka kepada allah.
Keempat :
istiqomah jiwa, yaitu selalu benar dan suci jiwa dari pada kenistaan
Kelima :
istiqomah hidup, yaitu seluruh hidup kita ditujukan untuk memperoleh kemuliaan
dari allah SWT
Selain yang telah disebutkan diatas ulama’ juga
menyebutkan bentuk-bentuk dari istiqomah yang terbagi dalam tiga bentuk:
ü Istiqâmah dalam Aqidah
Artinya:
“dan bahwa (yang kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku
yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
bertakwa”. (QS Al-An’am: 153).
ü Istiqâmah dalam Syar’iah
artinya:
“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas
suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”.(QS
Al-Jaatsiyah: 18)
ü
Istiqâmah
dalam Perjuangan
Artinya:
“ Maka boleh jadi kamu hendak meniggalkan
sebagian dari apa yang diwahyukan kepadamu dan sempit karenanya dadamu, karea
khawatir bahwa mereka akan mengatakan: mengapa tidak diturunkan kepadanya
perbendaharaan (kekayaan) atau datnag bersama-sama dengan dia seorang malaikat?
Sesungguhnya kamu hanyalah
seorang pemberi peringatan dan Allah Pemelihara segala sesuatu” (QS Huud: 12).
DR. Mushthafa al-Buga dalam kitabnya al-Waafi menyebutkan
pentingnya istiqamah hati, karena inilah landasan dari sikap istiqamah itu.
Istiqamah hati dalam bertauhid kepada Allah dengan cara takut, mengharap,
tawakkal dan beribadah kepada-Nya serta meninggalkan selain Allah . apabila
hati bisa istiqamah dalam kebaikan maka anggota tubuh yang lain akan
mengikutinya,
sebagaimana sabda Rasulullah:
Artinya, “Ingatlah bahwa dalam jasad itu ada
sekerat daging, jika ia baik maka baiklah jasad seluruhnya dan jika ia rusak
maka rusaklah jasad seluruhnya. Ketahuilah ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan
Muslim dari Abu ‘Abdillah An-Nu’man bin Basyiir).
Hati adalah sumber kebaikan dan keburukan
seseorang. Bila hati penuh dengan ketaatan kepada Allah, maka perilaku
seseorang akan penuh dengan kebaikan. Sebaliknya, bila hati penuh dengan
syahwat dan hawa nafsu, maka yang akan muncul dalam perilaku adalah keburukan
dan kemaksiatan. Keburukan dan kemaksiatan ini bisa datang karena hati
seseorang dalam keadaan lengah dari dzikir kepada Allah.
Ibnul Qoyyim al-Jauziyah berkata,
"Apabila hati seseorang itu lengah dari dzikir kepada Allah, maka setan
dengan serta merta akan masuk ke dalam hati seseorang dan mempengaruhinya untuk
berbuat keburukan. Masuknya setan ke dalam hati yang lengah ini, bahkan lebih
cepat daripada masuknya angin ke dalam sebuah ruangan."
Oleh karena itu hati seorang mukmin harus
senantiasa dijaga dari pengaruh setan ini. Yaitu, dengan senantiasa berada
dalam sikap taat kepada Allah. Upaya inilah yang disebut dengan Istiqamah. Imam
al-Qurtubi berkata, "Hati yang istiqamah adalah hati yang senantiasa lurus
dalam ketaatan kepada Allah, baik berupa keyakinan, perkataan, maupun
perbuatan." Lebih lanjut beliau mengatakan, "Hati yang istiqamah adalah
jalan menuju keberhasilan di dunia dan keselamatan dari azab akhirat.
Hati yang istiqamah akan membuat seseorang
dekat dengan kebaikan, rezekinya akan dilapangkan dan akan jauh dari hawa nafsu
dan syahwat. Dengan hati yang istiqamah, maka malaikat akan turun untuk memberikan
keteguhan dan keamanan serta ketenangan dari ketakutan terhadap adzab kubur.
Hati yang istiqamah akan membuat amal diterima dan menghapus dosa."
Ada banyak cara untuk menggapai hati yang
istiqamah. Di antaranya:
Pertama, meletakkan cinta kepada Allah di atas segala-galanya.
Ini adalah persoalan yang tidak mudah dan butuh perjuangan keras. Karena, dalam
kehidupan sehari-hari kita sering mengalami benturan antara kepentingan Allah
dan kepentingan makhluk, entah itu kepentingan orang tua, guru, teman, saudara,
atau yang lainnya. Apabila dalam kenyataanya kita lebih mendahulukan
kepentingan makhluk, maka itu pertanda bahwa kita belum meletakkan cinta Allah
di atas segala-galanya.
Kedua, membesarkan
perintah dan larangan Allah. Membesarkan perintah dan larangan Allah harus
dimulai dari membesarkan dan mengagungkan pemilik perintah dan larangan
tersebut, yaitu Allah. Membesarkan perintah Allah di antaranya adalah dengan
menjaga waktu salat, melakukannya dengan khusyu, memeriksa rukun dan
kesempurnaannya serta melakukannya secara berjamaah.
Ketiga, senantiasa
berzikir kepada Allah karena itulah perintah Allah dan Rasul-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam hadis qudsi
Allah berfirman, "Barangsiapa yang mengingat-Ku di dalam dirinya, maka
Aku akan mengingat-Nya dalam diri-Ku. Dan barang siapa yang mengingat-Ku dalam
keramaian, maka Aku akan mengingat-Nya dalam keramaian yang lebih baik darinya."
(HR Bukhari).
Keempat, Mempelajari kisah orang-orang saleh terdahulu. Hal ini
diharapkan agar kita bisa mengambil pelajaran dari mereka. Bagaimana kesabaran
mereka ketika menghadapi ujian yang berat, kejujuran mereka dalam bersikap, dan
keteguhan mereka dalam mempertahankan keimanan.
Sebagaimana firman Allah:
Artinya:
" Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka
itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. al-Qur'an itu
bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang
sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman. (QS. Yusuf
:111).
Disamping istiqamah hati, pada kitab yang sama
al-Buga juga menulis pentingnya istiqamah lisan karena ia merupakan pengungkap
kata hati. Ketika Rasulullah ditanya tentang apa yang paling beliau khawatirkan
dari umatnya. Tanpa berbicara beliau memegang lidahnya. (HR.Turmudzishahih).
DR.
Ahmad bin Yusuf al-Duraiwisy dalam bukunya al-Istiqamah menyebutkan beberapa
rukun atau pondasi untuk membangun keistiqamahannya diantaranya keshalihan, keteguhan dalam sunnah
dan jamaah, sikap pertengahan antara ekstrim dan menyepelekan, akhlak yang
mulia, dan teman yang shalih.
Dalam kitab Haqiqatul iltizam-nya Syaikh
Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrien menambahkan beberapa hal yang diperhatikan
untuk menjaga keistiqamahan diantaranya Berusaha mengamalkan Assunnah
semampunya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Dari Abdullah bin Amru bin
Al-Ash berkata : Rasulullah bersabda “Akan terjadi pada umatku apa yang terjadi
pada bani Isra’il setapak demi setapak ,sampai kalau ada diantara mereka yang
mendatangi ibunya dalam keadaan terbuka juga akan terjadi pada umatku seperti
itu ,dan sesungguhnya bani Isra’il terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan
terpecah menjadi 73 golongan semuanya di Neraka kecuali satu ,para sahabat
bertanya :siapa mereka itu ya Rasulullah? beliau menjawab“ siapa yang bisa
sepertiku dan sahabatku. (HR. Atturmuziy).
Di
samping itu seorang yang ingin tetap istiqamah harus banyak thalabul ilmu agar
tidak terjebak kepada amaliyah yang tidak ada tuntunan syariahnya. Dari sinilah
Imam Al-Bukhari menulis sebuah bab dalam kitabnya “Bab al’ilmu qabla alqaul
wa’lamal” Juga berusaha menjauhi perbuatan maksiat atau hal yang tidak
bermanfaat, Allah Azza wa Jalla berfirman:
“ Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan
Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah - Dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengatahui. (QS. Ali imran :135).
Yang dimaksud dengan al-ishrar (meneruskan
perbuatan kejinya) dalam ayat diatas adalah “Seorang mengerjakan dosa kemudian
menyepelekannya.
Dari
Abu Hurairah Rasulullah bersabda “Termasuk kebaikan islam seseorang
,meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya” (HR- At-Tirmidziy-hasan). Untuk
menjaga keistiqamahan Syaikh Abu Mushab dalam kitabnya al- Ilmam fi Asbaab Dho’fi
al-Iltizam menyebutkan beberapa perbuatan yang bisa melemahkan keistiqamahan
diantaranya lemahnya keikhlasan, kurangnya ilmu syar’i dan jauhnya dari ahli
agama, lemahnya muhasabah, sibuk dengan keluarga, al-Faudhawiyah
(kesemrawutan), sibuk dengan aib orang lain, tidak menghargai waktu, bergaul
dengan orang yang tidak baik, dan tidak mempunyai semangat dan harapan. Akhirnya
marilah senantiasa kita berdoa kepada Allah Dia memberikan kita keistiqamahan
hati di dalam agama-Nya
Sebagaimana yang dicontohkan olehRasulullah
seperti yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi beliau berdoa:
Ketika ditanya oleh Ummu Salamah kenapa begitu
sering mengucapkan doa tersebut, Beliau menjawab; Wahai Ummu Salamah !
sesungguhnya tidak ada satupun anak Adam kecuali hatinya berada diantara
jari-jari Allah . Kalau Dia Berkehendak untuk menjadikannya istiqamah ia
jadikan, dan barangsiapa yang dikehendaki untuk menyeleweng Diapun
berkuasa.Kemudian Rasulullah membaca ayat:
Artinya:
“ Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati
kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan
karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya
Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)" (QS. Ali imran:8).
Faktor-Faktor Yang Melahirkan Istiqâmah
Dalam mennjalankan sebuah komitmen memerlukan
konsistensi, sikap konsistensi (istiqomah) adalah sikap teguh pendirian dan
selalu konsekuen, seseorang yang memiliki niat dan keyakinan yang kuat tidak
akan pernah goyah menghadapi rintangan, hambatan. Dalam suatu perbuatan pasti ada hal-hal yang mepengarui
perbuatan tersebut, begitu pula dengan istiqomah, terdapat faktor-faktor yang
mempengarui istiqomah, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam kitabnya “Madaarijus
Salikiin” menjelaskan bahwa ada enam faktor yang mampu melahirkan istiqomah
dalam jiwa seseorang sebagaimana berikut;
1.
Beramal dan melakukan optimalisasi
“artinya:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan
jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong” (QS al-hajj:78).
2. Berlaku moderat antara
tindakan melampui batas dan menyia-nyiakan
Artinya:
“Dan orang-orang yang
apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS al
furqon:67).
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةٌ
وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ فَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِي فَقَدْ
أَفْلَحَ وَمَنْ كَانَتْ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ
Artinya:
“Dari Abdullah bin Amru, ia berkata bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Setiap amal memiliki puncaknya dan setiap puncak
pasti mengalami kefuturan (keloyoan). Maka barang siapa yang pada masa futurnya
(kembali) kepada sunnahku, maka ia beruntung dan barang siapa yang pada masa
futurnya (kembali) kepada selain itu, maka berarti ia telah celaka”(HR Imam
Ahmad dari sahabat Anshar)
3. Tidak melampui batas yang telah digariskan ilmu
pengetahuannya
artinya:
artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya
itu akan dimintai pertanggung jawaban” (QS isra’:36).
4. Tidak menyandarkan pada
faktor kontemporal, melainkan bersandar pada sesuatu yang jelas.
5. Ikhlas
artinya:
artinya:
“Padahal mereka tidak
disuruh, melainkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus” (QS al
bayyinah:5).
Inilah sebuah dalil yang menunjukkan tentang keihlasan
seseorang dalam beribadah, ikhlas sendiri berarti tulus hati atau hati yang
bersih, adapun yang dimaksud dengan ikhlas secara luas adalah mengerjakan
ibadah semata-mata hanya mengharapkan ridha Allah.
Perbuatan ikhlas adalah perbuatan yang timbul karena
keinginan sendiri, bukan karena perintah atau paksaan dari orang lain. Jika
mengerjakan sesuatu karena mengharapkan sesuatu maka perbuatan itu belum bisa
dikategorikan dengan ikhlas. Suatu pekerjaan akan terasa lebih ringan jika
dikerjakan dengan ikhlas dan sebaliknya akan terasa berat jika dilakukan dengan
terpaksa.
Ikhlas atau tidaknya seseorang dalam melakukan sesuatu
perbuatan sangat tergantung kepada niatnya, apalagi jika berhubungan dengan
perbuatan yang termasuk ibadah maka niat menjadi penentu, jika niatnya baik
maka hasilnya pun akan baik, Rasulullah Saw sendiri bersabda:
اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِيَّاتِ
وَاِنَّماَ لِكُلِّ امْرِءٍ مَّا نَوَى
Artinya:
“sesungguhnya nilai perbuatan itu tergantung
dengan niat-nya, dan sesungguhnya bagi setiap orang (ganjaran atau pahala)
menurut apa yang di niatkan”
Allah
menyuruh kita beramal dengan ikhlas agar amal yang kiita kerjakan itu
bermanfaat, baik ketika kita berada di dunia maupun saat berada di akhirat
kelak. Sebab jika kita beramal dengan ketidak ikhlasan maka amal yang kita
kerjakan akan sia-sia. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 264 yang
artinya sebagai berikut “hai orang-orang yang beriman janganlah kamu
menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti
perasaan si penerima, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena
riya’kepada manusia dan dia tidak beriman kepada allah dan hari kemudian, maka
perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya ada tanah, kemudian
batu itu ditimpai hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah)”
6. Mengikuti Sunnah
قَالَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمْ تَرَكْتُ
فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةُ
نَبِيَّه
Artinya:
“Telah aku tinggalkan bagi
kamu dua perkara, kamu tidak akan sesat selamanya selagi berpegang tegung
dengannya yaitu Al-Qur’an dan sunnah para nabinya”(HR Imam Malik dalam
Muatta’).
7. Meninggalkan
Dosa
Dosa memberikan
noda-noda hitam di hati manusia, sehingga apabila noda hitam itu telah memenuhi
hati ia akan menjadi gelap gulita, tak dapat mengenal yang ma’ruf tidak
juga mengingkari yang mungkar, disebutkan dalam hadis:
تُعْرَضُ
الْفِتَنُ عَلَى الْقُلُوبِ كَالْحَصِيرِ عُودًا عُودًا فَأَيُّ قَلْبٍ
أُشْرِبَهَا نُكِتَ فِيهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ وَأَيُّ قَلْبٍ أَنْكَرَهَا نُكِتَ
فِيهِ نُكْتَةٌ بَيْضَاءُ حَتَّى تَصِيرَ عَلَى قَلْبَيْنِ عَلَى أَبْيَضَ مِثْلِ
الصَّفَا فَلَا تَضُرُّهُ فِتْنَةٌ مَا دَامَتْ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
وَالْآخَرُ أَسْوَدُ مُرْبَادًّا كَالْكُوزِ مُجَخِّيًا لَا يَعْرِفُ مَعْرُوفًا
وَلَا يُنْكِرُ مُنْكَرًا إِلَّا مَا أُشْرِبَ مِنْ هَوَاهُ
Artinya: “Fitnah akan ditampakkan kepada hati seperti tikar
seutas demi seutas, hati mana saja yang menerimanya akan diberikan titik hitam
dan hati mana saja mengingkarinya akan diberi titik putih, sehingga menjadi dua
hati: Hati yang putih bagaikan batu shofa, tidak terpengaruh oleh fitnah selama
langit dan bumi masih ada. Dan hati yang hitam seperti cangkir yang terbalik;
tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak mengingkari yang mungkar kecuali yang
sesuai dengan hawa nafsunya.” (HR. Muslim)
Dosa
melemahkan pengagungan seseorang terhadap Allah di hatinya dan menghilangkan
rasa takut dari adzab-Nya. Engkau lihat orang yang banyak berbuat maksiat
lisannya terasa berat untuk menyebut nama Allah, ia ganti dengan nama “Tuhan”
atau “Yang di atas” atau yang semacamnya. Ia tidak memandang adzab sebagai
peringatan namun hanya sebatas fenomena alam dan bencana biasa akibat alam yang
tidak ramah katanya.
Orang yang
keadaannya demikian akankah mampu beristiqamah di jalan Allah?! Selamanya
tidak, karena dosa sudah dianggapnya remeh dan tidak lagi merasakan sakitnya
maksiat akibat hati yang telah gelap dan mati, dan mayat tak akan merasakan
lagi sakitnya tusukan pedang dan tombak.
8. Banyak
Bertaubat dan Kembali kepada Allah
Bertaubat
adalah pembersih kotoran dosa yang melekat di hati manusia, dan ia adalah salah
satu obat yang dapat menjaga kesehatan hati, Ibnu Qayyim rahimahullah
menyebutkan bahwa cara menjaga kesehatan hati berkaitan erat dengan cara
menjaga kesehatan badan, dan beliau menyebutkan bahwa menjaga kesehatan badan
adalah dengan tiga cara, beliau berkata: “Poros kesehatan adalah dengan :
- Menjaga stamina
- Menjauhi penyakit dan
- Mengeluarkan unsur yang rusak
Perhatian
para dokter berporos kepada tiga pokok ini, dan Alquran telah menunjukkan
kepadanya. adapun menjaga stamina, Allah Ta’ala
mengizinkan musafir dan orang sakit untuk berbuka puasa Ramadan dan
mengqadhanya ketika telah mukim dan sehat, ini dalam rangka menjaga kekuatan
mereka karena puasa dapat menambah lemah bagi orang yang sakit, dan musafir
membutuhkan kekuatan untuk menghadapi lelahnya perjalanan sedangkan puasa
membuatnya lemah.
Adapun menjauhi penyakit, Allah Swt memberikan keringanan kepada orang yang sakit
untuk tidak mempergunakan air dalam wudlu dan mandi jika air itu semakin
menambah penyakitnya, dan memerintahkan untuk bertayammum dalam rangka
menjaganya dari sesuatu yang dapat menambah penyakit badannya.
Adapun mengeluarkan unsur yang rusak, Allah mengizinkan bagi orang yang
sedang ihram untuk mencukur rambut yang menyakitinya karena banyaknya kutu yang
menyerang, dan ini cara yang paling mudah dalam mengeluarkan unsur yang rusak.
Jika engkau megetahui ini, hati pun membutuhkan sesuatu yang dapat menjaga
staminanya yaitu iman dan ketaatan, dan harus dijaga dari sesuatu yang dapat
merusak dan mendatangkan penyakitnya yaitu dosa, maksiat, dan berbagai macam
bentuk penyimpangan. Dan harus dikeluarkan darinya unsur
yang rusak yaitu dengan taubat nasuha dan memohon ampunan kepada Allah yang
Maha mengampuni dosa.”
Rasulullah saw telah mengabarkan
tentang fitnah yang bergelombang dimana fitnah itu akan ditampakkan kepada hati
seperti tikar seutas demi seutas, hati mana saja yang menerimanya akan
diberikan titik hitam dan hati mana saja mengingkarinya akan diberi titik
putih, sehingga menjadi dua hati: Hati yang putih bagaikan batu shofa, tidak
terpengaruh oleh fitnah selama langit dan bumi masih ada, dan hati yang hitam
seperti cangkir yang terbalik; tidak mengenal yang ma’ruf dan tidak
mengingkari yang mungkar kecuali yang sesuai dengan hawa nafsunya.
Maka di zaman fitnah ini kita harus lebih banyak bertaubat dan istighfar
untuk menghilangkan noda-noda hitam di hati akibat maksiat dan fitnah yang
merasuki hati kita, tentunya taubat yang disertai penyesalan, bertekad untuk
tidak melakukannya lagi dan meninggalkan maksiat tersebut selama hayat
dikandung badan. Inilah jalan menuju istiqamah agar hamba meraih husnul khatimah.
Faktor-Faktor penghalang Istiqâmah
Syekh Musnid al Qahthany, dalam bukunya, “Meniti Jalan Istiqamah”,
terbitan Pustaka Al Bashirah, menjelaskan beberapa faktor penghalang istiqamah,
di antaranya;
1.
Menunda-nunda (taswif) istiqamah. Banyak orang yang
mengerti, keutamaan istiqamah. Namun, kadang menunda istiqamah, menunda
bertobat kepada Allah. Seolah-olah, hidup matinya, di tangan dirinya, bukan di
tangan Allah.
2.
Teman-teman yang buruk. Banyak orang yang ingin
bertaubat dan istiqamah. Tapi, akibat berteman dengan orang tidak baik,
akhlaknya buruknya. Dirinya tidak dapat istiqamah. Benarlah, sabda Rasulullah,
untuk melihat iman seseorang, maka lihatlah kepada siapa yang bergaul. Bagi
yang ingin segera bertaubat, istiqamah di atas jalan Islam. Segeralah, dan
secepatnya meninggalkan temannya yang perangainya tidak baik, dan bergaul
dengan orang-orang shaleh.
3.
Keluarga dan kerabat. Salah satu, yang kadang
menjadi penghalang dalam menegakkan agama, istiqamah dengan ajaran Islam,
adalah keluarga dan kerabat dekat. Banyak, yang ingin berdakwah, menyerukan
kebenaran, istiqamah di atas Islam. Tapi tersandung pada keluarga, dan kerabat.
Ada yang diboikot, tidak diberi ongkos kuliah, tidak dinafkahi, isolir sama
keluarga, hingga diusir, tidak diakui sebagai keluarga.
Bagi, siapa saja yang mengalami nasib
seperti di atas, hendaknya jangan berputus asa. Bersabar, bertawakal, berdoa
kepada Allah, agar dikuatkan menghadapi cobaan, serta mendoakan keluarganya
agar diberi hidayah oleh Allah. Sehingga, dapat menerima kebenaran Islam dan
dapat mendukung dakwah Islam.
4.
Terlalu larut dalam perkara-perkara mubah. Menurut
Ibnu Qayyim rahimahullah: bahwa fase-fase godaan syetan pada manusia, yakni
membuat manusia tenggelam dan berlebihan dalam perkara mubah, dengan alasan
hukumnya mubah. Perkara-pekara mubah itu, seperti; terlalu banyak tidur,
terlalu banyak makan, serta terlalu banyak olah raga tertentu. Perkara-perkara
tersebut, bisa melalaikan seseorang dari perkara-perkara wajib, misalnya;
shalat berjama’ah, membaca Al qur’an dan berdzikir pada Allah.
5.
Kekhawatiran tidak dapat istiqamah dengan sempurna.
Salah satu pintu syetan, adalah membuat seorang hamba berprasangka terhadap
dirinya. Disebabkan, prasangka dirinya tidak bisa istiqamah secara sempurna,
seseorang akhirnya memilih tidak sitiqamah. Anggapan mereka, dari pada tidak
bisa konsisten melaksanakan ajaran Islam, lebih baik sekalian tidak. Orang
model seperti ini telah dirasuki syetan, sebelum berusaha menjalankan agama,
dirinya memilih jalan tetap meninggalkan ajaran Islam. Akhirnya, hidayah kian
jauh darinya, dirinya kian terjerembab dalam buaian syetan.
6.
Pekerjaan.
Betapa banyak di antara kita, yang futur, tidak istiqamah akibat pekerjaan.
Dulu, ketika masih di kampus, dirinya terkenal sebagai aktifis yang istiqamah
menegakkan ajaran Islam dalam dirinya, mendakwahkan ajaran Islam di
tengah-tengah kampus. Tapi, apalah daya, ketika pilihan pekerjaan, profesi yang
menjadi obsesi dan orientasi utamanya, dirinya rela meninggalkan sebagian
ajaran-ajaran Islam. Dirinya takut dipecat, dimutasi, atau kehilangan
kedudukan, jika dirinya masih konsisten dengan ajaran Islam.
Sebenarnya masih ada beberapa penghalang istiqamah, keenam faktor
tersebut sangat mempengaruhi tidak terlaksananya istiqomah, karrena itulah hal
ini dapat menjadikan pelajaran dalam kehidupan, tetap waspada jika sifat-sifat
tersebut, mulai menghampiri, atau merasuki pemikiran kita. Selain penghalang diatas Ada
beberapa perkara juga yang
menyebabkan seseorang menyeleweng dan keluar dari istiqamah, di antaranya:
1.
Hilangnya dasar-dasar keistiqamahan di tengah
kaum muslimin dan terbukanya pintu-pintu penyelewengan yang berakibat
mendekatnya penyeru-penyeru penyelewengan dari kalangan syaithan jin dan
manusia.
2.
Meninggalkan
pendidikan Islami bagi generasi muslim sejak dini dan menganggap perkara
tersebut sebagai perkara kecil. Generasi penerus itu tidak diarahkan kepada
sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhirat mereka.
3.
Memberikan
kebebasan kepada anak-anak untuk mencari kesenangan hidup tanpa ada aturan
syariat. Sehingga anak pun melakukan segala kerusakan selama dia bisa
mendapatkan kesenangan, seperti permainan yang melalaikan, menonton film-film
porno dan sinema yang penuh kedustaan, narkoba, dugem, pergaulan bebas,
merokok, musik, dan lain-lain.
4.
Hilangnya perhatian para guru terhadap anak
didiknya, sehingga mereka berbuat apa saja yang diinginkan, walaupun hal itu
bertentangan dengan apa yang dikajinya. Hal ini mengakibatkan pada diri mereka
muncul dua pendorong yang berbahaya. Pertama: Dorongan untuk terjerumus menjadi
orang yang menyeleweng, dan Kedua: Menjadi orang yang bangkrut kehidupan dunia
dan akhiratnya.
5.
Meninggalkan rumah-rumah
Allah Subhanahu wata’ala(masjid) dan tidak memenuhi panggilan seruan da’i-Nya,
karena melanglang buana dalam aktivitas yang tidak berguna untuk dunia,
terlebih untuk akhirat. Inilah mayoritas perbuatan yang dilakukan di
tengah muslimin, terlebih di kalangan para pemuda yang cenderung senantiasa
melampiaskan nafsunya.
6.
Bertebarannya kemungkaran di tengah-tengah
kaum muslimin dan terciptanya lingkungan yang jelek dan kotor. Semua ini sangat
mungkin menjadi sebab terjadinya penyelewengan dan keluar dari istiqamah.
7.
Terlepasnya tali
hubungan antara anak dan bapak yang shalih lagi bertakwa kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala, sehingga anak menempuh jalan-jalan kedurhakaan yang merupakan seruan
Iblis dan tentara-tentaranya untuk menuntut keadilan dan kebebasan hidup dari
orang tua yang shalih dan bertakwa tersebut.
Ini beberapa sebab terjadinya penyelewengan dan keluarnya seorang
muslim dari jalur istiqamah. Keadaan ini membutuhkan jawaban (solusi) agar
jangan sampai generasi Islam pada masa yang mendatang menjadi pengibar bendera
kesesatan dan penyelewengan, menjadi generasi yang tidak berdaya di hadapan
musuh-musuh Allah Subhanahu wata’ala, generasi yang egois, rusak moral, menjadi
generasi yang rendah dan budak piaraan musuh-musuh mereka.
Karena itulah apabila penyakit-penyakit seperti
ini tidak segera dihindari dan disingkirkan maka lambat
laun hal itu bisa menggelincirkan diri kita dari jalan Islam, tidak istiqamah
dengan ajaran Islam, yang sekian lama dipupuk dalam sanubari, dengan ibadah,
serta amalan-amalan shaleh.
Istiqomah lebih baik dari
seribu karomah
Rasulullah saw
bersabda:
اَلْاِسْتِقَامَةُ خَيْرٌ
مِّنْ اَلْفِ كَرَمَة
Yang artinya: “Istiqomah itu lebih baik
dari seribu karomah”.
Dari
hadits Rasul ini betapa luar biasanya kekuatan istiqomah, betapa tidak, Allah
berikan kepada orang yang istiqomah seribu
karomah, satu karomah saja sudah dahsyat apalagi seribu
karomah. Kita sering mendengar kata keramat yaitu karomah, sesuatu yang diberikan
kepada para wali Allah. Begitulah kekuatan yang diberikan Allah kepada
orang-orang yang istiqomah.
Mari kita perhatikan bagaimana orang-orang yang istiqomah
itu, dalam berbagai kitab banyak diceritakan tentang orang-orang yang
istiqomah, sebagaimana diceritakan dalam kitab ’Uqudullujain’ yang ditulis oleh
Muhammad Almu’tarif disana diceritakan
bahwa Ada seorang wanita yang memiliki seorang suami yang munafik dan
wanita itu setiap melakukan segala sesuatu dari ucapan maupun
perbuatannya selalu dengan mengucapkan bismillah maka suaminya berkata
sungguh aku telah berbuat sesuatu yang memalukannya, lalu dia memberikan
sesuatu kotak yang berharga (benda antik) dan dia berkata kepadanya untuk
menjaganya, kemudian istri tersebut meletakkan dan menyimpan benda tersebut di
suatu tempat dan menutupinya agar tidak ketahuan oleh orang lain, tetapi karena
dasar suami munafiq dia melalaikan terhadap apa yang ia katakan (ingkar)
sebagaimana tanda-tanda orang munafiq adalah ingkar apabila berjanji, dusta
apabila ia berkata, khiyanat apabila diberi amanah. Lalu ia
malah mengambil benda yang disimpan tadi oleh istrinya tanpa sepengetahuan
istri dan membuangnya ke dalam sumur yang ada di rumahnya. Kemudian suami
munafiq itu mencarinya kotak tersebut. Maka istrinya datang ke tempat benda
tersebut seperti kebiasaan yang ia lakukan membaca bismillahirrahmanirrahim
disini pertolongan Allah turun sebelum dia sampai tempat benda itu maka Allah
perintahkan malaikat Jibril AS untuk turun dengan segera dan mengembalikan benda
tadi ke tempat semula. Subhanallah dengan izin Allah benda itu sudah kembali
ketika akan diambilnya, padahal benda itu telah masuk ke dalam sumur yang
sangat dalam tadi. Maka suami munafiq ini takjub dan terheran-heran. Dan
akhirnya dari kejadian itu ia taubat dari kemunafikannya.
Maka dari itu bagi kita seyogyanya memiliki keistiqomahan
Sebagaimana perkataan Al-Faqih Abu Laits beliau mengatakan: ”Berbahagialah
orang yang diberi pengertian dan dibangunkan/sadar dari lupanya, mau dipimpin
untuk berfikir tentang urusan patinya, mudah-mudahan Allah menghabisi umur kami
dalam kebaikan, dan memperoleh kegembiraan sperti layaknya orang mukmin ketika
mati
Dampak Positif Istiqomah
Dalam semua perbuatan pastilah mempunyai dampak atau
pengaruhnya, ketika perbuatan itu baik maka akan berdampak baik, begitu pula ketika perbuatan itu buruk,
maka jangan salahkan jika dampaknya akan negative. Istiqomah yang telah
tersebut dalam al-qur’an merupakan perbuatan yang baik tentunya dampak-dampak
positive lah yang ditimbulkan dari sikap itu, oleh karenanya setiap manusia muslim
yang beristiqomah dan yang selalu berkomitmen dengan nilai-nilai kebenaran
Islam dalam seluruh aspek hidupnya akan merasakan dampaknya yang positif
sepanjang hidupnya.
Adapun dampak positif istiqomah sebagai berikut;
1.Keberanian(Syaja’ah)
Muslim yang selalu istiqomah dalam hidupnya ia akan
memiliki keberanian yang luar biasa. Ia tidak akan gentar menghadapi segala
rintangan dalam kehidupanya. Ia tidak akan pernah menjadi seorang pengecut dan
pengkhianat dalam hutan belantara perjuangan. Selain itu juga berbeda dengan
orang yang di dalam hatinya ada penyakit nifaq yang senantiasa menimbulkan
kegamangan dalam melangkah dan kekuatiran serta ketakutan dalam menghadapi
rintangan-rintangan.
Perhatikan firman Allah Taala dalam surat
Al-Maidah ayat 52 di bawah ini;
artinya:
“Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada
penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi
dan Nasrani), seraya berkata, “Kami takut akan mendapat bencana". Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada
Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka
menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.”(Q.s al
maidah ayat 52)
2.Ithmi’nan (ketenangan)
Keimanan seorang muslim
yang telah sampai pada tangga kesempurnaan akan melahirkan tsabat dan istiqomah
dalam medan perjuangan. Tsabat dan istiqomah sendiri akan melahirkan
ketenangan, kedamaian dan kebahagian. Meskipun ia melalui rintangan yang
panjang, melewati jalan terjal kehidupan dan menapak tilas lika-liku belantara hutan
perjuangan. Karena ia yakin bahwa inilah jalan yang pernah ditempuh oleh
hamba-hamba Allah yang agung yaitu para Nabi, Rasul, generasi terbaik
setelahnya dan generasi yang bertekad membawa obor estafet dakwahnya.
Artinya:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati
mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allahlah hati menjadi
tenteram” (QS ar ra’d:28).
3.Tafa’ul (optimis)
KeIstiqâmahan yang dimiliki seorang muslim juga
melahirkan sikap optimis. Ia jauh dari sikap pesimis dalam menjalani dan
mengarungi lautan kehidupan. Ia senantiasa tidak pernah merasa lelah dan
gelisah yang akhirnya melahirkan frustasi dalam menjalani kehidupannya.
Keloyoan yang mencoba mengusik jiwa, kegalauan yang ingin mencabik jiwa
mutmainnahnya dan kegelisahan yang menghantui benaknya akan terobati dengan
keyakinannya kepada kehendak dan putusan-putusan ilahiah.
Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh
beberapa ayat di bawah ini;
artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak
pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap
apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa
yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
sombong lagi membanggakandiri”(QSal hadid:22-23)
artinya:
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah
berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir"
(QS yusuf: 87).
Ibrahim berkata, “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat" (QS al hijr :56).
Maka dengan tiga buah Istiqâmah ini, seorang muslim akan
selalu mendapatkan kemenangan dan merasakan kebahagiaan, baik yang ada di dunia
maupun yang dijanjikan nanti di akherat kelak. Perhatikan
ayat di bawah ini;
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ
artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami
ialah Allah" kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat
akan turun kepada mereka dengan mengatakan, “Janganlah kamu takut dan janganlah
merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan
Allah kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan
akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh
(pula) apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu)
dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS fusshilat:30-32).
Joko wahyono dalam bukunya “sekolah kaya sekolah miskin”
menyatakan bahwa dampak bagi orang yang melakukan istiqomah (konsiten) akan
menjadi pribadi yang memiliki kepribadian yang berani, berjiwa tenang, dan
bersikap optimis, seseorang yang istiqomah dalam melaksanakan kehidupannya maka
ia akan memiliki keberanian yang luar biasa, ia tidak akan gentar menghadapi
rintangan dalam hidupnya, ia pun tidak akan menjadi seorang pengecut dan
penghianat dalam perjuangan, berbeda dengan orang yang mempunyai sikap takut
dalam hatinya maka akan senantiasa menimbulkan keraguan dalam melangkah dan
ketakutan serta ke khawatiran dalam menghadapi rintangan-rintangan.
Orang yang selalu istiqomah dalam menjalankan kebenaran
atau tujuan yang diyakininya dan di inginkannya, maka hal itu akan menimbulkan
ketenangan dalam hatinya, kedamaian dan kebahagiaan, meskipun ia melalui
rintangan yang panjang, melewati jalan terjal kehidupan dan menapak tilas
tingkah laku belantara hujan perjuangan, tetapi ia akan tetap yakin bahwa
inilah jalan yang pernah di tempuh oleh orang-orang yang meraih kesuksessan
dalam kehidupan.
Kiat-kiat
istiqomah
Istiqomah adalah sebuah komitmen dalam
menjalankan satu program untuk menuju satu tujuan. Istiqomah itu mengandung: 1)
konsisten, sehingga secara terus menerus apa yang dianggap baik itu dijalankan,
2) tahan uji kepada godaan-godaan yang mungkin menjadi penghambat, menjadi
halangan kita sampai pada tujuan yang cita-citakan. Dalam kaitan dengan fokus,
hidup ini dianjurkan oleh agama kita untuk memiliki tujuan. Allah berfirman
bahwa tidak diciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah pada-Nya. Itu
tujuan hidup kita. Kemudian juga Allah mengingatkan bahwa kita diturunkan ke
bumi sebagai umat yang terbaik.. Tapi apa syaratnya untuk menjadi ummat yang
terbaik? Syaratnya adalah fokus kepada sesuatu yang menjadi cita-cita hidup
kita karena hal itu yang akan menggerakkan seluruh hidup kita ke arah cita-cita
tersebut. Kalau gak tahu apa yang dituju, pasti akan goyah. Dapat ujian sedikit
sudah limbung.
Istiqomah itu menyertai keimanan. Iman naik
dan turun, ujian datang dan pergi. Lalu bisa juga disebut bahwa istiqomah itu
salah satu ciri keimanan kita teruji atau tidak. Ketika kita tidak istiqomah,
bisa dikatakan memang bahwa keimanan kita tidak teruji dengan baik. Memang
istiqomah menjadi suatu kondisi, suatu benteng untuk menunjukkan ketundukan
kita kepada Allah. Indikator keberagamaan kita atau ketakwaan itu memang ada
pada sikap istiqomah. Menjalankan sesuatu, sendirian atau ramai-ramai, diberi
reward tidak diberi reward, sikapnya sama saja. Itulah sikap orang yang
istiqomah, yang dibalut dengan perilaku ikhlas sebagai hamba.
Dalam suatu hadits diceritakan, sahabat
Abdullah al-Tsaqafi meminta nasihat kepada Nabi Muhammad saw agar dengan
nasihat itu, ia tidak perlu bertanya-tanya lagi soal agama kepada orang lain.
Lalu, Rasulullah saw bersabda,
قًلْ اَمَنْتُ بِاللهِ ثُمَّ اسْتَقِمْ
''Qul Amantu Billah Tsumma Istaqim'' (Katakanlah, aku
beriman kepada Allah, dan lalu bersikaplah istiqamah!). (H.R. Muslim)
Hadits tersebut mengajarkan kita untuk
senantiasa beriman kepada Allah swt serta menjalani semua perintah-Nya. Orang
yang tidak memiliki sifat istiqomah sangatlah merugi karena akan sia-sia semua
usaha dan perjuangannya.
Oleh karena itu kiranya akan kami tunjukkan
kepada semua pembaca apa sajakah Kiat-kiat Mewujudkan Sikap Istiqomah, dan kiat-kiat itu antara lain;
- Mengikhlaskan niat semata-mata hanya mengharap Allah dan karena Allah swt. Ketika beramal, tiada yang hadir dalam jiwa dan pikiran kita selain hanya Allah dan Allah. Karena keikhlasan merupakan pijakan dasar dalam bertawakal kepada Allah. Tidak mungkin seseorang akan bertawakal, tanpa diiringi rasa ikhlas.
- Bertahap dalam beramal. Dalam artian, ketika menjalankan suatu ibadah, kita hendaknya memulai dari sesuatu yang kecil namun rutin. Bahkan sifat kerutinan ini jika dipandang perlu, harus bersifat sedikit dipaksakan. Sehingga akan terwujud sebuah amalan yang rutin meskipun sedikit. Kerutinan inilah yang insya Allah menjadi cikal bakalnya keistiqamahan. Seperti dalam bertilawah Al-Qur’an, dalam qiyamul lail dan lain sebagainya; hendaknya dimulai dari sedikit demi sedikit, kemudian ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.
- Diperlukan adanya kesabaran. Karena untuk melakukan suatu amalan yang bersifat kontinyu dan rutin, memang merupakan amalan yang berat. Karena kadangkala sebagai seorang insan, kita terkadang dihinggapi rasa giat dan kadang rasa malas. Oleh karenanya diperlukan kesabaran dalam menghilangkan rasa malas ini, guna menjalankan ibadah atau amalan yang akan diistiqamahi.
- Istiqamah tidak dapat direalisasikan melainkan dengan berpegang teguh terhadap ajaran Allah swt. Allah berfirman QS. Ali imran ayat 101 yang berbunyi:
Artinya:
”Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir,
padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di
tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka
sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
- Istiqamah juga sangat terkait erat dengan tauhidullah. Oleh karenanya dalam beristiqamah seseorang benar-benar harus mentauhidkan Allah dari segala sesuatu apapun yang di muka bumi ini. Karena mustahil istiqamah direalisasikan, bila dibarengi dengan fenomena kemusyrikan, meskipun hanya fenomena yang sangat kecil dari kemusyrikan tersebut, seperti riya. Menghilangkan sifat riya’ dalam diri kita merupakan bentuk istiqamah dalam keikhlasan.
- Istiqamah juga akan dapat terealisasikan, jika kita memahami hikmah atau hakekat dari ibadah ataupun amalan yang kita lakukan tersebut. Sehingga ibadah tersebut terasa nikmat kita lakukan. Demikian juga sebaliknya, jika kita merasakan ‘kehampaan’ atau ‘kegersangan’ dari amalan yang kita lakukan, tentu hal ini menjadikan kita mudah jenuh dan meninggalkan ibadah tersebut.
- Istiqamah juga akan sangat terbantu dengan adanya amal jama’i. Karena dengan kebersamaan dalam beramal islami, akan lebih membantu dan mempermudah hal apapun yang akan kita lakukan. Jika kita salah, tentu ada yang menegur. Jika kita lalai, tentu yang lain ada yang mengingatkan. Berbeda dengan ketika kita seorang diri. Ditambah lagi, nuansa atau suasana beraktivitas secara bersama memberikan ‘sesuatu yang berbeda’ yang tidak akan kita rasakan ketika beramal seorang diri.
- Memperbanyak membaca dan mengupas mengenai keistiqamahan para Nabi, sahabat dan orang-orang shaleh dalam meniti jalan hidupnya, kendatipun berbagai cobaan dan ujian yang sangat berat menimpa mereka. Jusrtru mereka merasakan kenikmatan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan cobaan tersebut.
- Memperbanyak berdoa kepada Allah, agar kita semua dianugerahi sifat istiqamah. Karena kendatipun usaha kita, namun jika Allah tidak mengizinkannya, tentulah hal tersebut tidak bisa.
Selain itu, ada beberapa kiat-kiat yang dapat
memperkuat keistiqomahan seseorang, tentu saja jika kita sudah mampu
beristiqomah tentunya kita tidak menginginkan keistiqomahan kita pun akan
hilang justru kita akan menginginkan sikap itu terus dan terus menguat dan
meninggkat setiap harinya, oleh karena itu kita membutuhkan tekhnik atau
beberapa beberapa yang bisa memperkuat sikap keistiqomahan tersebut, antara
lain:
- Hendaklah kita merasa belum cukup dengan amal yang pernah dilakukan.
- Menutupi amal dengan amal yang lebih baik dari sebelumnya.
- Merasa sedikit kebaikannya sekaligus merasa terlalu banyak maksiatnya.
- Mengingat-ingat mati ( dzikrul maut )
Rasulullah Salallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : “perbanyaklah mengingat
sesuatu yang bisa menghilangkan kenikmatan yaitu kematian” (HR.Turmudzi)
- Iri dengan amal shaleh orang lain sehingga berkeinginan menirunya.
- Malu dengan perjuangan para pendahulu, sementara kita belum berbuat apa-apa.
- Perbanyak waktu untuk sillaturrahim dan bersahabat dengan orang shaleh, karena teman bisa menjadi cermin bagi diri kita. Hal itu tercermin dalam firman allah.“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”(QS. At-Taubah ayat :115)
- meminta nasihat kepada orang yang kita yakini kebaikannya.
- membaca biografi orang-orang shaleh untuk diambil teladannya
Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui
batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat
Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah
Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu,
dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu
tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang
kamu tidak menyadarinya” (QS. Az-Zumar ayat 53-55)
- berkumpul di majelis orang shaleh
- menyakini bahwa ujian yang menimpa kita, belum seberapa dibanding yang pernah dialami para nabi, sahabat dan shidiqqin
- tidak terlena dengan urusan dunia sehingga melupakan akhirat. Ingat banyak orang yang istiqomah dalam kesahajaan, tetapi hancur karena kemewahan dunia.
- amal yang baik bukanlah pada banyaknya, tetapi pada dawam-nya (istiqomah), sedikit tapi terus menerus dilakukan.
- berdoa, doa merupakan senjata ampuh yang akan menguatkan dan meluruskan niat. Hal itu tercermin dalam beberapa firman Allah swt:
“(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk
kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena
sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)." ( Q.S. Al- Imran ayat 8
)
“Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya,
mereka pun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah
kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami
terhadap orang-orang kafir".(Q.S. Al- Baqarah: 250 )
15. Tadabur
al-qur’an
Al-qur’an adalah sebuah kitab suci yang sangat sempurna, orang yang mampu
istiqomah berinteraksi dengan Al Qu'ran tentunya akan merasakan Nikmat dan
tentunya akan mendapat pahala yang banyak, bukan hanya itu orang yang mampu
bertadabbur dengan Al-qur’an akan mendapatkan nikmat syafaat kelak di hari
kiamat, Sebagaiman firman Allah:
“Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang
telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.
(Q.S. Az- Zukhruf ayat: 43 )
(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian)
orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke
dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah
tiap-tiap ujung jari mereka. (Q.S. Al- Anfaal ayat :12
)
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan
kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam
surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi
orang-orang yang beriman (Q.S. Al- Huud 11:120 )
16. Berhubungan
dengan Allah Subhanahu Wata’ala secara baik (ma’rifatullah dan
bermuroqobah )
Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan
ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah
menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki. (Q.S.
Ibrahim 14:27 )
Berhubungan dengan Allah secara qalbu (meyakini
dengan hati), dengan lisan ( terus berdzikir ) , dengan pikiran (mencari ilmu
agar bisa berhubungan dengan baik).
Secara lebih gamblang muqorabah adalah keadaan
seseorang hamba yang senantiasa mengetahui dan meyakini penguasaan allah
terhadap lahir dan batinnya, umpamanya melanggengkan pengetahuan dan keyakinan
inilah yang disebut muqorobah.
Jadi muqorabah adalah buah pengetahuan bahwa Allah
mengawasinya, melihatnya dan mendengar ucapannya. Dzun nun berkata bahwa
pertanda muqorobah adalah mengutamakan apa-apa yang diturunkan allah, menganggap
besar terhadap apa yang dianggap besar olehnya dan menganggap kecil apa yang
dianggap kecil olehnya. Sedangkan ibrahim al thawas berkata “muqorabah adalah
kemurnian batin dan lahir karena allah”.
Oleh karena itu semestinya sesorang itu bermuqorobahsebelum
beramal dan selama beramal, apakah hawa nafsunya yang mendorongnya untuk
melakukannya ataukah hanya allah yang mendorongnya secara khusus, jika yang
mendorongnya adalah allah dia melanjutkannya, jika tidak dia meninggalkannya,
inilah yang dinamakan ikhlas.
Inilah muqorobah seorang hamba dalam ketaatan,
yaitu ikhlas didalamnya, sedangkan muqorobah dalam kemaksiatan adalah dengan
taubat, sesal dan berhenti dari melakukannya, adapun muqorobah dalam hal yang
mubah adalah dengan memperhatikan adab didalamnya dan bersyukur atas berbagai
nikmat. Sesungguhnya seseorang itu berda dalam salah satu dari dua hal yaitu
nikmat yang mesti disyukurinya dan ujian yang mesti dia harus bersabar
menghadapinya, itu semua termasuk dalam muqorobah.
Istiqamah
memiliki beberapa keutamaan yang tidak dimiliki oleh sifat-sifat lain dalam
Islam. Diantara keutamaan istiqamah adalah :
- Istiqamah merupakan jalan menuju ke surga.
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan:
“Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka
malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa
takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan
(memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. fusshilat : 30)
- Berdasarkan ayat di atas, istiqamah merupakan satu bentuk sifat atau perbuatan yang dapat mendatangkan motivasi dan pertolongan Allah SWT.
- Istiqamah merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah swt. Dalam sebuah hadits digambarkan : Dari Aisyah r.a., bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Berbuat sesuatu yang tepat dan benarlah kalian (maksudnya; istiqamahlah dalam amal dan berkatalah yang benar/jujur) dan mendekatlah kalian (mendekati amalan istiqamah dalam amal dan jujur dalam berkata). Dan ketahuilah, bahwa siapapun diantara kalian tidak akan bisa masuk surga dengan amalnya. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang langgeng (terus menerus) meskipun sedikit. (HR. Bukhari)
- Berdasarkan hadits di atas, kita juga diperintahkan untuk senantiasa beristiqamah. Ini artinya bahwa Istiqamah merupakan pengamalan dari sunnah Rasulullah saw.
- Istiqamah merupakan ciri mendasar orang mukmin. Dalam sebuah riwayat digambarkan: Dari Tsauban ra, Rasulullah saw. bersabda, ‘istiqamahlah kalian, dan janganlah kalian menghitung-hitung. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang dapat menjaga wudhu’ (HR. Ibnu Majah)
Ciri-ciri orang yang memiliki sifat istiqomah
- Konsisten dalam memegang teguh aqidah tauhid
- Konsisten dalam menjalankan ibadah baik mahdoh atau ghoiru mahdoh.
- Konsisten dalam menjalankan syariat agama, baik berupa perintah maupun larangan
- Konsisten dalam bekerja dan berkarya, dengan tulus dan ikhlas karena Allah swt.
- Konsisten dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan
Allah swt menjanjikan balasan yang besar kepada
orang-orang yang istiqomah.
Artinya:
“Sesunguhnya
orang-orang yang mengatakan: "Rabb kami ialah Allah", kemudian mereka
tetap istiqomah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada
(pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di
dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (QS.
Al-Ahqaf:13-14). Dan semoga kita bisa istiqamah dalam segala hal. Amin.